Senin, Desember 29, 2008

M Syafii Pamerkan Karya di Galeri Surabaya

MOHAMMAD SYAFII Pelukis Surabaya memamerkan 16 karyanya di Galeri Surabaya mulai Kamis (25/12) malam. Pameran ini dibuka SABROT D MALIOBORO satu diantara budayawan Surabaya. Dari 16 karya yang disiapkan SYAFII, seperti dilaporkan RULLY reporter Suara Surabaya, menghadirkan karya Mix Media, karya 2 dimensional, dan karya lukis di atas kanvas. Konsepnya sendiri, kata SYAFII, bersumber dari kehidupan sehari-harinya. Ada yang mengenai orang kaya dengan orang miskin, hubungan antara Tuhan dengan manusia, tentang perekonomian, dan sebagainya. Di depan pintu masuk terlihat ada 1 luklsan yang menyerupai gambar YESUS. Ketika dikonfirmasi, SYAFII menjawab, lukisan tersebut sebenarnya penggambaran dirinya dimana 3 tahun kemarin merasakan beban perekonomian yang sulit. Pengeluaran selalu lebih besar daripada pemasukannya. Ke-16 pameran tersebut akan berlangsung sampai 31 Desember 2008 mendatang. (rdy, tin; suarasurabaya.net, 25 Desember 2008)

Kamis, Desember 25, 2008

Perupa Agus Gembel Pamer Cinta dan Keluarga

Perupa asal Surabaya, Agus Gembel HST memamerkan karyanya bertema "Cinta... Adalah Sebuah Ruang Keluarga" di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda, 17 hingga 23 Desember 2008. "Dalam bahasa Inggris, ruang keluarga justru disebut dengan 'living room' yang secara harfiah adalah ruang hidup. Ruang keluarga, menurut dia adalah titik temu," kata perupa kelahiran Yogyakarta, 2 Oktober 1971 itu di Surabaya, Kamis. Menurut dia, ruang keluarga itu merupakan tempat untuk berkumpul dan berkativitas anggota keluarga. Di situ ada kasih sayang, cinta sekaligus benci, pertengkaran dan lainnya yang semuanya tetap bermuara pada cinta. Pada karyanya ini, ia ingin menyampaikan bahwa cinta tidak hanya berkaitan dengan sayang, suka, kangen, keindahan dan lainnya, tapi juga perasaan sedih, benci, marah, kenes, berantem, bahkan juga sifat jahat. "Cinta yang sempurna adalah cinta yang lengkap komponen-komponen pembentuknya. Cinta adalah sebuah kompleksitas yang absurd, namun tidak dapat disangkal oleh logika," kata seniman yang juga aktif menulis puisi, lagu dan naskah teater, khususnya monolog itu. Agus menghadirkan semua bentuk seni rupa dalam pamerannya ini, yakni lukisan, patung dan fotografi yang mengambarkan bertemunya berbagai rasa dalam kehidupan suatu keluarga. Untuk Pada seni patung, ia mengahdirkan karya yang menggunakan berbagai media, seperti kayu, kain batik, benang dan lainnya. Untuk fotografi yang telah diolah kembali, ia menghadirkan sosok-sosok Gus Dur, monalisa dan lukisan ia menampilkan karya abstrak. (Masuki M. Astro; ANTARA, 18 Desember 2008)

Komik Buatan Indonesia di Galeri Surabaya

Sekitar 25 komik karya mahasiswa Stikomp Surabaya dipamerkan di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda, 11-14 Desember 2008 dengan tema, "Made in Indonesia"."Mereka yang berpameran adalah mahasiswa Stikomp yang tergabung dalam `Komputer Grafis Community`. Selain komik, juga ada karya animasi," kata Manajer Galeri Surabaya, Farid Syamlan di Surabaya, Kamis malam. Ia mengemukakan bahwa pada pameran ini peserta ingin menampilkan hasil kreasinya di tengah banyaknya komik karya seniman asing di Indonesia. Komik-komik asing itu justru sangat diminati anak-anak di Indonesia."Makanya judul pameran ini adalah, `Made in Indonesia`. Kami berharap, kreasi anak-anak muda ini bisa menjadi semangat bagi seniman lain untuk berkarya sehingga pada akhirnya komik Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri," ujarnya. (ANTARA via Republika Online, 4 Desember 2008)

Kamis, November 27, 2008

Pameran Karya Antistres

Kaleng biskuit ternyata bisa menjadi wadah berekspresi bagi seniman. Itulah yang dilakukan oleh Hen Indira. Dia mengaplikasikan lukisan pada kaleng tersebut. Lukisan pada kaleng biskuit itu merupakan salah satu karya seni rupa yang bisa disaksikan dalam pameran bertajuk Jamu Anti Stress di Galeri Surabaya mulai kemarin (26/11) hingga 30 November mendatang. Selain Hen, tiga perupa yang memajang karya masing-masing adalah Endy L., Imam Sucahyo, dan Sutarno Masteng. Tidak hanya memanfaatkan kaleng, papan skateboard juga menjadi media berekspresi. Papan tersebut digantung di atas sebuah plastik berwarna biru. Plastik itu bertulisan safety first. Sedangkan di balik papan skateboard terdapat sejumlah stiker bernada peringatan, seperti dangerous when wet (berbahaya jika basah). Karya instalasi tersebut mengingatkan pengunjung agar mengutamakan keselamatan. Hen juga berkreasi dengan piring plastik. Dengan menggunakan 20 piring plastik, pria 29 tahun itu melukis gambar makanan-makanan yang sehari-hari disantap orang. Antara lain, mi goreng, tempe penyet, dan telur mata sapi. Tidak ada makna mendalam di balik karya tersebut. "Hanya, supaya kita kenyang saja," jelasnya. Sutarno memilih media konvensional, yaitu kanvas. Medianya mungkin biasa, tapi objek yang dipilih tidak biasa. (ken, ari; Jawa Pos, 27 November 2008/ Foto: Totok Sumarno; suarasurabaya.net)

Rabu, November 26, 2008

Anjing-anjing Berlari Gelisah

Sapuan warna hitam dan putih dari acrylic di atas kanvas abu-abu. Melingkarlingkar bagai benang kusut yang tak terurai. Begitu kelam seperti memendam kegelisahan. Sepintas memang hanya kelam.Tapi lebih dalam lagi di balik sapuan itu, akan “terlihat”anjing-anjing berlarian. Lari mencari kebebasan. Itulah salah satu karya yang dipamerkan Endy Lukito di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda, kemarin. Lukisan berjudul Running Out Series 1 itu dibuatnya dalam tiga versi. Ada juga Running Out Series 2 dan Running Out Series 3. Endy sengaja melakukan eksplorasi garis untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi.“ Tidak salah kalau ada yang bilang anak TK bisa melukis seperti ini,” kata Endy. Yang membedakan adalah proses dan semangat yang terpancar dari goresan tersebut. “Saya memang sedang gelisah,” kata seniman berkacamata ini. Pameran lukisan bertema Jamu Anti-Stress ini juga menampilkan karya pelukis, Imam Sucahyo, Sutarno Masteng, dan Hen Indira. Untuk menyelesaikan lukisan Running Out Series, Endy mengaku butuh waktu sekitar tiga minggu. “Melukisnya memang tidak lama. Tapi proses pencarian gagasan dan kontemplasinya yang butuh waktu,” kata cowok yang pernah kuliah di Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu. Menariknya, Endy baru menemukan “sesuatu” dalam lukisan itu setelah menyelesaikannya. Awalnya, Endy sengaja mencoba lari dari proses yang telah dijalaninya selama ini. Hingga akhrinya ia memutuskan mengeksplorasi garis untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Hasilnya, Endy baru menyadari ternyata ia ”melihat” ada anjing- anjing berlarian dalam goresan monochrome. Karya lain berjudul Pesan Para Binatang juga tidak kalah menariknya. Lukisan ini memang lebih mudah dinikmati masyarakat umum. Pelukisnya, Hen Indira, mengaku sengaja ingin menyampaikan betapa manusia sering memfitnah binatang. Dalam karya itu ada gambar beberapa hewan. Gambar itu dituangkan di atas bahan logam dari kaleng bekas. Gambar kuda bertuliskan kerja,burung bertuliskan plagiat, kepala harimau bertuliskan raja, ayam bertuliskan jagoan, tikus bertuliskan maling, sapi bertuliskan perah, dan bebek bertuliskan mbebek. Sementara lukisan kepala serigala dibiarkan tanpa tulisan. ”Kita sering memfitnah binatang, kita pasti menuding tikus suka nyolong makanan,” kata Hen Indira. Padahal, manusia sendiri tidak sadar telah memiliki sifat-sifat itu. Lalu mengapa kepala serigala tanpa tulisan? Kata Hen Indira, itu memang untuk memberi ruang pada penikmat untuk memaknainya sesuai hati nurani. ”Makanya, lukisannya ’kan menjorok ke dalam. Ya di dalam hati nurani,” ucapnya sambil memegang dada. Sedangkan Masteng menampilkan karya yang dibuatnya dari bahan acrylic dan ballpoint. Lukisan berjudul Kosong itu menyampaikan betapa masih ada kekosongan di hati pelukisnya. Dengan goresan ballpoint melingkar-lingkar tercipta bentuk batu-batu yang berserakan. Kata Masteng, lukisan itu memang berangkat dari kekosongan hatinya. Lukisan yang mengambil tema aktual dan faktual adalah Bau, karya Imam Sucahyo. Tergambar seorang pria menggunakan bra dan menghunus pisau. Di sampingnya tertulis kata-kata, Alway Back to The Prex Ketek. Imam mencoba menyejajarkan kasus mutilasi dan pembunuhan berantai yang dilakukan Verry Idham Henyansyah alias Ryan dengan kasus korupsi. Secara kasatmata, Ryan memang tampak berbahaya, padahal koruptor bisa membunuh lebih banyak penghuni bangsa ini. Pria yang pernah kuliah di Akademi Seni Rupa dan Desain Yogyakarta ini mengaku membuat karya tersebut secara spontan. “Setelah melihat televisi, muncul ide ini.Langsung saja saya tuangkan,” katanya. (Zaki Zubaidi; Koran Sindo, 25 November 2008/ Foto: Totok Sumarno; suarasurabaya.net)

Pameran Jamu Anti Stress

Menghadirkan berbagai karya, komunitas seniman muda dari Surabaya, dan Tuban, berkolaborasi dalam Pameran Jamu Anti Stress. Digelar di Galeri Surabaya, satu di antara karya HEN INDRA dari Tuban, sangat menggelitik. Mengusung mix media, yang memadukan akrilik dan berbagai media lainnya, menyodorkan gagasan tentang fitnah terhadap satwa. "Tikus selalu dianggap sebagai lambang korup. Padahal, tidak semua tikus korup. Ini fitnah toh," ujar HEN INDRA. (Totok Sumarno/ suarasurabaya.net, 25 November 2008)

Jamu Anti Stress di Balai Pemuda

Adalah sesuatu yang wajar jika melukis di kanvas yang kemudian dipigura. Selanjutnya karya itu bisa dinikmati pengunjung pameran dengan ditempelkan pada dinding atau papan datar horisontal. Tapi pada pameran lukisan Jamu Anti Stress yang digelar di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, Selasa (25/11), cukup berbeda. Ada beberapa lukisan yang dibuat di atas media plastik dan papan skateboard serta permukaan kaleng berbentuk kotak. Tak kalah beda, piring yang permukaannya bergambar berbagai jenis makanan, tampak dijajarkan di tengah ruang pamer. “Jajaran lukisan di piring ini adalah imajinasi atau makanan ilusi,” kata Hen Indira, pelukis piring. Selain Hen, juga dipamerkan lukisan karya Imam Sucahyo, Endy L, dan Sutarno Masteng. Beberapa pengunjung pameran, memang tampak terkejut dengan lukisan yang dipamerkan. Apalagi bisa dibilang bentuknya awut-awutan. “Tapi kami sadar, karya seniman memang aneh-aneh. Bagi saya cukup menarik lah,” ujar Wibawa, salah satu pengunjung.(rie/ Harian Surya, 26 November 2008)

Senin, November 24, 2008

Taufik 'Monyong' Gelar 'Agretion'

Masih merespon persoalan sosial masyarakat, TAUFIK MONYONG pelukis Surabaya kembali meluncurkan karya-karyanya dalam sebuah pameran “Agretion” di Balai Pemuda, mulai Senin (17/11) ini. Dalam pameran ini, ia juga menampilkan bentuk multimedia. Pameran ini merupakan pameran kelima TAUFIK di tahun 2008. Sebelumnya, ia sudah pernah menggelar pameran Revolution, Lintas Generasi, On the street dan pembuatan video art kontemporer Agretion. Video art tersebut akan ditampilkan dalam pameran bertajuk sama mulai hari ini. “Masih respon terhadap persoalan sosial, kemasyarakatan. Bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara. Bicara tentang hukum, etika, sosial. Dan perspektif ke depan,” kata TAUFIK saat ditemui suarasurabaya.net, Senin (17/11). Lukisan-lukisan beraliran ekspresionis khas TAUFIK, siap terpampang di galeri kompleks Balai Pemuda. Kebebasan, suara rakyat bahkan protes terhadap perilaku diskrimantif kepada perempuan digambarkan lewat goresan cat acrylic TAUFIK. Di tengah ruangan, terdapat kain sepanjang 10 meter yang terdiri dari 4 lukisan. Kain tersebut terpasang pada 4 buah tongkat yang diatasnya ditutup kain hitam. “Menggambarkan kuburan, makam,” kata TAUFIK. Lalu, kematian apa yang ingin ditunjukkan ? “Kematian keadilan, polisi hanya bisa menilang. Perempuan mendapat perilaku diskriminatif, konglomerasi yang ikut mencerdaskan bangsa tapi bullshit, dan semangat yang lenyap,” ungkap TAUFIK. Di atas vespa miliknya, pameran ini juga akan diwarnai dengan video art kontemporer sebagai bentuk pertunjukan multimedia. Dalam video itu, TAUFIK mengendarai vespa sepanjang Sidoarjo dan Surabaya, menyuarakan agresi. (Text & Foto: Agita Sukma Listyanti/ suarasurabaya.net, 17 November 2008)

Prajurit Roma Berbahasa Kuba Naik Vespa

Hasta la victoria seem pre! Prajurit Roma itu terus meneriakkan pekik perjuangan,maju terus pantang mundur. Aneh memang, seorang prajurit Roma naik vespa butut melakukan orasi dengan bahasa Kuba mengelilingi Surabaya. ”Patria o muerte! Vox populi vox dei!” teriak prajurit Roma berkulit sawo matang itu yang berarti, tanah air atau mati, suara rakyat suara Tuhan. Begitulah adegan dalam video art yang ditampilkan Taufik Monyong dalam pameran yang bertajuk Agretion. Video tersebut semakin terkesan heroik karena diiringi lagu underground dari band asal Surabaya, Pejah. Pameran lukisan di Galeri Surabaya Balai Pemuda ini gelar dari 17 hingga 21 November mendatang. Selain Monyong, pameran itu menampilkan lukisan karya Junaidi dan Poernadi. Memasuki ruang pamer, pengunjung disuguhi batubatu nisan berbalut kain hitam. Pada dindingnya tergantung lukisan-lukisan bertema semangat agresi. Di antara lukisan-lukisan itu nangkring vespa butut penuh coretan. Di atasnya, televisi 14 inci memutar aksi gila Taufik Monyong bak prajurit Roma tadi berkeliling Surabaya. ”Inilah kontemporer,” jawab Monyong saat ditanya mengapa prajurit Roma malah berbahasa Kuba. ”Indonesia sudah saatnya melakukan agresi, perluasan atau ekspansi. Persoalan rumah tangga seperti harga BBM maupun pornografi seharusnya sudah selesai,” kata Monyong yang membutuhkan waktu tiga bulan menyiapkan pameran ini. Vespa butut adalah simbol agresi negara lain ke Indonesia. Agresi negara lain itu kini sudah dianggap kuno (butut) dan sudah waktunya berbalik, Indonesia yang melakukannya. Bahasa Kuba yang digunakannya tidak lebih dari bentuk kekagumannya sang pemimpin gerilya Che Guevara. “Sebelum beraksi, saya harus menghafalkannya lebih dulu,” katanya sambil tertawa. Sementara prajurit Roma sudah pasti semangat ekspansi yang disampaikannya. Ada yang menarik saat ditanya dari mana Monyong mendapat ide pameran dan video art ini. Mantan aktivis 98 itu mengaku, gagasan berawal dari mimpinya bertemu Soekarno, Presiden RI pertama. “Waktu mimpi itu, saya sedang naik vespa. Lalu Soekarno bilang urusan rumah tangga negara ini seharusnya sudah selesai. Sudah saatnya melakukan agresi,” kata Monyong dengan mimik serius. Selain video art, Monyong menampilkan 14 lukisan, sedang Poernadi menampilkan 1 lukisan, dan Junaidi menampilkan 4 lukisan. Salah satu lukisan berjudul “Freedom” tampak begitu sangar dan emosional.”Gerakan menuju perubahan bisa dianggap orang lain bagai pengaruh jahat.Padahal,semua itu diperjuangkan untuk menuju sebuah kemerdekaan,freedom,” kata Monyong. (Zaki Zubaidi, Koran Sindo, 17 November 2008)

Pameran ‘Agretion’, Jangan Melupapakan Sejarah

Dua alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan satu alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya berkolaborasi dalam pameran lukisan betajuk “Agretion” di Galeri Surabaya (GS) mulai Senin (17/11). Pameran hingga 22 November mendatang memajang 17 lukisan yang tujuannya mengajak untuk berjuang meraih kemerdekaan. “Secara ekonomi Indonesia belum merdeka, masih terjajah Amerika, seperti kasus Freeport,” kata pelukis Purnadi yang didampingi pelukis lainnya, Taufik Monyong dan Junaidi saat pembukaan. Dari total lukisan yang dipajang, Purnadi memajang satu karya, Taufik sebelas karya dan sisanya karya Junaidi. Purnadi memajang karyanya berjudul Jangan Lupakan yang Lalu. Lukisan ekspresionis – surealis berukuran 150 × 80 cm menggambarkan sebuah tangan dan kaki yang tumbuh dari buah semangka yang bercucuran air. Seabuah tangan berusaha meraih “damar” sedangkan kakinya berupaya menggaet kursi. Di atas kursi digambarkan sebuah matahari. “Setiap kehidupan dengan simbol semangka membutuhkan sebuah pengorbanan dan usaha untuk mencapai tujuan,” jelas Purnadi. Kaki dan tangan adalah upaya untuk mencapai penerangan dan kekuasaan. Melalui kekuasan dan penerangan, manusia bisa memberikan pengaruh terhadap dunia yang dilambangkan dengan matahari. Kaitannya dengan “Agretion,” jangan sekali-kali lupakan sejarah, kemerdekaan yang dapat dinikmati sekarang dan dulunya dibayar tetes darah para pahlawan. Demi mencapai kemerdekaan, para pejuang rela mengorbankan nyawanya. Indonesia secara de facto telah merdeka dan kemerdekaan ini dapat dinikmati oleh anak-cucu. “Karya ini juga dapat dinilai secara religi untuk mencapai yang ‘Tunggal’ dan diperlukan sebuah usaha dan perjuangan yang luar biasa,” katanya. Sementara Taufik memfavoritkan karya People Power. Lukisan ini menggambar lima wanita yang berusaha memberontak tradisi yang selama ini cuma dianggap sebagai komunitas. “Pameran kali ini tidak hanya menampilkan lukisan saja tapi ada pagelaran musik dan pemutaran video,” Taufik. Pada videonya dia berusaha berkomunikasi untuk memberikan perubahan. Dalam rekamannya, Taufik keliling Surabaya dan Sidoarjo sambil berorasi. “Indonesia telah bangkit, Indonesia harus berpikir menjajah negara lain,” katanya. (K13/ Surabaya Post, 19 November 2008)

Keindahan Alam Goresan Hamid Nabhan

Ada suasana pedesaan dan hawa segar saat memasuki Galeri Surabaya, Balai Pemuda. Suasana itu tercipta dari lukisan-lukisan alam karya Hamid Nabhan yang dipamerkan mulai kemarin (12/11) hingga 16 November nanti. Hamid membawa 23 lukisan dengan tema yang sama: Symphony of Nature. Pelukis Surabaya tersebut menuturkan, alamlah yang mengajarinya melukis. Meski begitu, dia merasa prihatin dengan kondisi alam yang kini telah berubah, tak lagi indah. Manusia telah merusaknya. Seperti dalam lukisan berjudul Pohon I yang dituangkan dalam kanvas 98 x 98 cm. Dalam lukisan yang diambil on the spot di Trawas itu, Hamid melukis batang pohon besar. Menurut dia, kondisi asli lokasi tersebut subur dan penuh tumbuhan hijau dan rimbun. Tapi, dalam lukisannya dia justru menampilkan objek batang pohon yang kering, tanpa daun. "Ini memang sindiran. Kita telah kehilangan paru-paru kehidupan. Banyak pohon yang ditebang semena-mena," ucapnya. Karya yang dipamerkan kali ini merupakan garapan Hamid sejak 2006 hingga 2008. Dia mengerjakannya dalam dua pola: on the spot (langsung di lokasi) dan di studio. "Ketika melukis on the spot, saya bisa merasakan keindahannya secara langsung. Kendalanya masalah peralatan, cukup repot kalau membawa peralatan yang besar," katanya. Karena itu, lukisan on the spot biasanya lebih kecil dibandingkan lukisan di studio. Di studio, dia bisa leluasa bekerja. "Kalau di studio, saya bisa melukis dari hasil foto," tuturnya. Untuk objeknya, Hamid harus mencari yang sehati dengan obsesinya. Dia lebih suka berburu cahaya-cahaya yang menyinari objek sehingga tercipta sebuah keindahan alam yang berdimensi dan nyata. Itu sesuai dengan kekagumannya terhadap gaya impresionis. "Bagi saya, lukisan impresionis terasa lebih hidup," ujarnya. (jan, ari/ Jawa Pos, 13 November 2008)

Jumat, November 07, 2008

Harmoni Aliran di Balai Pemuda

Tidak mudah menyatukan berbagai gaya dan aliran para seniman. Namun, itu bukanlah hal yang mustahil. Bertajuk Harmoni, pameran lukisan di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, hingga 9 November mendatang itu mencoba membuktikan perpaduan tersebut. Sebanyak 24 lukisan karya 17 seniman dari kelompok Serumpun Bambu terpajang memutari ruangan galeri. Berbagai objek dan aliran mencoba memberi suguhan menarik untuk penikmat lukisan. Mulai gaya realis, dekoratif, surealis, hingga kaligrafi tersaji dengan berbagai teknik dan media. Ada yang menggunakan media palet. Ada juga yang memakai tinta dengan teknik drawing. Salah seorang pelukis yang menggunakan palet adalah Ahmad Djunaidi. Dalam pameran tersebut, pelukis 31 tahun itu menyumbangkan dua karya. Membidik objek kawasan Pasar Pabean dan Jembatan Merah, Djunaidi menyuguhkan lukisan bergaya realis impresionis yang kental dengan gaya goresan spontan. Dua lukisan tersebut dilukis langsung di tempat alias on the spot. Hasilnya, Djunaidi berhasil merekam segala aktivitas orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar kawasan tersebut. Ada kumpulan para pedagang, ada juga sekawanan laki-laki bersepeda. Pemilihan objek tersebut beralasan. "Saya ingin mengabadikan bangunan dan kawasan bersejarah Surabaya pada zaman sekarang. Sebab, di masa yang akan datang, bangunan-bangunan itu belum tentu masih ada," jelas Djunaidi. Untuk lukisan bergaya dekoratif, pelukis muda Ali Topan menyuguhkan satu lukisan. Mengambil tajuk My World, Ali menggambarkan detail dunia anak-anak sesuai dengan daya imajinasi. Dengan menggunakan media cat acrylic, dia melukis anak-anak yang tengah berlarian, sapi terbang, hingga kuda dengan badan bermotif kotak-kotak di sebuah padang rumput yang penuh dengan jamur berukuran raksasa. Lukisan dekoratif itu disebut naive decorative. Selain lukisan realis dan dekoratif, ada juga lukisan surealis yang bisa disaksikan. Salah satunya, karya pelukis Suyono. Lewat karyanya yang berjudul depression, Suyono mengambil objek sebuah sepatu bot hitam berukuran besar yang terisi penuh dengan cairan hijau. Saking penuhnya, cairan tersebut tumpah ke lantai. Tepat di atas sepatu tersebut, terdapat sebuah tangan berbalut sarung tangan putih yang membawa sebuah tongkat. Lukisan itu merupakan simbol otak manusia yang memiliki keterbatasan. Pameran lukisan bersama tersebut merupakan pameran perdana dari Serumpun Bambu. Berawal dari kegiatan kumpul-kumpul para pelukis itu memiliki ide untuk membentuk kelompok dan akhirnya mengadakan pameran bersama. (ken, ayi/ Jawa Pos, 6 November 2008)

Kamis, November 06, 2008

Agenda Galeri Surabaya, November 2008

04-09 Pameran Lukis Bersama Serumpun Bambu: HARMONI. 12-16 Solo Exhibition: SYMPHONY OF NATURE, karya Hamid Nabhan. 17-22 Pameran Lukisan: LINTAS GENERASI 2, karya Pelukis Alumni Unesa. 24-30 Pameran Lukisan: JAMU ANTI STRES, karya Endy Lukito, Imam Sucahyo, Sutamo Masteng, Hen Indira. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)

Minggu, November 02, 2008

PAMERAN ‘MULTIDIMENSI’: Jalan Melepas Duniawi

Perupa yang juga dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan lama tidak terdengar kiprahnya, Hari Prajitno, kini tampil tunggal di Galeri Surabaya (GS), Selasa (28/10) – 2 November. Pameran bertajuk “Multidimensi”, sepertinya dia ingin mencurahkan kegelisahan atau perjalanannya dengan memajang 81 lukisan. Bisa dibilang, mungkin ini pemecah “rekor” selama GS menggelar pameran. Karena tidak banyak pameran tunggal yang menghadirkan karya sebanyak ini. Pameran bersamapun, kadang tidak sampai 81 lukisan. Karya yang ditampilkan, dipajang secara susun. Ada di deret bawah dan deret atas yang tidak lazim dilakukan oleh pelukis lain. Penyusunan karya yang “tidak lazim” ini, menggambarkan perjalanan hidup Sang Perupa. Lukisan yang ditata searah jarum jam itu sama seperti arah mengeraskan “mur-baut”. Sementara lukisan yang ditata berlawanan arah jarum jam, adalah sebaliknya. Lukisan di bagian bawah menceritakan perjalanan Hari setelah mengenal Tuhan dan berusaha melepas keduniawian. Di sini banyak lukisan bernuansa pemandangan. Di deretan atas menggambarkan sebaliknya, Hari banyak mengejar keduniawian. “Betapa kecilnya kita di jagad raya ini,” katanya. Sementara karya yang dinilainya favorit ada di urutan ke satu deret bagian bawah. Karya tidak berjudul ini merupakan gerbang Hari serius melukis abstrak dan tercipta ketika dia mulai salat. Kesadaran Hari terhadap Tuhan berkat Mas Koko. Dia yang mengajaknya salat. Pada saat itu juga Ayu Aurumsari Riza, istrinya sedang melahirkan anak ketiga, Jalu Landep Hanjemparing Giri Jati lewat operasi cesar. Sehari setelah itu, Jalu operasi karena ususnya yang abnormal. Bersama dengan “beban” yang menumpuk, Mas Koko sempat menelponnya. “Kamu punya biaya untuk merawat anakmu?” ujar Hari Prajitno menirukan ucapan Mas Koko. “Mendengar perkataan itu, sayapun tersadar dan setelah kejadian itu saya lebih mendekat kepadaNya,” tambahnya. Sementara lukisan yang dikelompokan menjadi satu merupakan karya yang memiliki karakter hampir sama dan dibuat dalam periode yang hampir sama pula. Karena setiap orang punya kecenderungan tertentu dalam periode tertentu juga. “Seperti halnya anak kecil, di waktu tertentu menyukai mainan robot tapi di waktu lain dia berubah menyukai mainan mobil-mobilan dan lainnya,” jelas dia. Tentang kreatifitas seninya, alumnus Fakultas Seni Rupa – Institut Seni Indonesia (FSR-ISI) Jogjakarta mengakui instingtif. “Saya melukis sesuai dalam pikiran, seperti apa yang diberikan Tuhan. Saya hanyalah perantara bagiNya,” tambah dia. Hari mulai profesional melukis pada 2000. Sebelumnya dia banyak berkreasi di media kayu dan seng. Salah satu karya yang cukup mengejutkan dan seakan meneror penikmatnya, sempat dipamerkan di GS beberapa tahun lalu. Hari menampilkan semacam (satu) kepompong ukuran besar. Memenuhi ruangan. Kempompong yang dibuat terus gergoyang dan dilengkapi dengan pencahayaan tertentu, membuatnya para penikmatnya seakan-akan ikut bergoyang. Pada pameran ini, sepertinya bisa melihat perjalanan hidup Hari. Periode 2000 – 2002, dia menggambarkan kembali benda berserakan untuk ditata tanpa harus bermakna simbolik, kecuali memungkinkan keterbukaan di setiap menikmati susunanNya. Periode 2003 -2004, mencoba menafsirkan kembali benda dan lingkungan yang komposisinya mulai lebih cair. Lebih lapang menuju keinginan yang ada di dalam, walau kadang terjebak pada aras egoistis. Periode 2005 – 2007 mulai menapaki ranah keterasingan. “Aku tidak lagi leluasa memiliki atau menentukan apa-apa,” ungkapnya. Periode 2008 tiada ketakutan menapaki ketidakjelasan untuk menuju ke depan. “Apapun yang terjadi adalah kongkrit dan begitu nyata. Tiada batas untuk memberi tanda apapun yang tertorehkan di sana, karena dia ada di sini,” tuturnya. (K13/ Surabaya Post, 30 Oktober 2008)

Rabu, Oktober 29, 2008

Dosen STKW Pamer Lukisan Multidimensi

Dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, Hari Prajitno memamerkan sekitar 80 lukisannya bertema "Multidimensi" di Galeri Surabaya, 28 Oktober hingga 2 November 2008. "Karya-karya ini merupakan perjalanan hidup dan spiritual saya dari periode ke priode, antara tahun 2000 hingga 2008," kata Hari yang ditemui disela-sela persiapan pembukaan pameran tersebut di Surabaya, Selasa. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengemukakan, secara garis besar karya itu diselesaikan antara periode 2000 hingga 2004 dan 2005 hingga 2008. "Periode pertama itu adalah masa dimana saya belum mengenal agama dengan baik. Saya pernah mengalami banyak cobaan, seperti anak sakit yang harus dioperasi atau istri melahirkan dengan cara operasi," katanya. Pada masa-masa seperti itu, ia melukis karya-karya abstraknya hanya dengan perasaan dan tentunya masih terpaku dalam kaedah-kaedah akademis. "Saya kemudian bertemu dengan tetangga saya, Mas Koko yang mengingatkan saya akan syariat agama. Ia mengajarkan bagaimana salat, puasa dan lainnya. Semua itu berpengaruh pada lukisan saya," katanya. Sejak itu ia kemudian melukis dalam bingkai hubungan dirinya dengan sang pencipta. Meskipun setiap karyanya memiliki makna khusus dalam perjalanan hidupnya, ia mengaku sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata. "Pokoknya saya melukis saja dan sekarang saya sudah melepaskan diri dari kaedah-kaedah akademis, meskipun saya sendiri orang akademisi. Saya tidak peduli dengan semua itu," kata pria kelahiran Surabaya, 19 Januari 1968 itu. Karya-karya pria yang mengajar sketsa, sejarah seni rupa barat dan dasar-dasar menggambar itu memang tidak menuangkan pesan khusus dalam setiap karyanya. "Secara umum, intinya, semua karya saya ini menunjukkan betapa kecilnya, betapa tidak ada apa-apanya saya di hadapan Allah. Itu saja, meskipun secara khusus itu tetap menggambarkan sejarah saya dalam waktu tertentu," katanya. Karya-karya yang dipajang dalam pameran itu dipisah dalam dua bagian. Untuk jajaran di atas merupakan karya periode 2000 hingga 2004 dan yang di bawah adalah karya tahun 2005 hingga 2008. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 28 Oktober 2008)

Sabtu, Oktober 25, 2008

Kain Perca, Pilihan Cerdas Berkesenian

Estetika Kain Perca: Potret Perempuan Berkesenian Melalui Pemanfaatan Kain Perca - “Estetika Kain Perca” mengubah pemahaman kita tentang kain perca yang dikatagorikan sebagai limbah, barang tak berguna serta sekaligus mengubah pemahaman tentang estetika. Kain perca selama ini lebih dikenal sebagai kerajinan tangan semata yang jarang dikaitkan dengan pilihan berkesenian, dan tampil menjadi alternatif pilihan untuk membuat lukisan, maka lahirlah Estetika Kain Perca sebagamana karya-karya yang dihasilkan oleh saudari Endang Waliati. Memanfaatkan kolase dari bahan kain perca menjadi medium berkesenian merupakan suatu pilihan cerdas. Bahan kain perca banyak berserakan, bahkan terbuang-buang dan belum banyak yang melirik sebagai produk yang punya nilai ekonomi, apalagi dianggap punya nilai seni. Pemanfaatan kain perca untuk aktivitas berkesenian, dimana hasilnya memiliki nilai estetika yang tinggi meningkatkan “derajat dan pangkat” kain perca dari semata-mata limbah menjadi barang seni yang tentunya selain punya nilai seni diharapkan juga dapat menjelma menjadi barang seni yang indah dan menjanjikan peluang pengembangan yang luar biasa, misalnya dalam pengembangan seni dekorasi dan interior dan lain-lain. Proses kreatif setiap orang berbeda-beda. Ada yang melihat bahan yang ada baru kemudian mengembangkan ide kretifnya. Saudari Endang justru mengembangkan ide kreatifnya lebih dulu, dan kemudian berburu kain perca yang dianggap dapat mendukung terwujudnya ide kreatifnya. Tentu saja bukan suatu pilihan yang mudah, dan di sini ada “kesenangan” mendapat tantangan yang mungkin dirasakan oleh saudari Endang. Artinya, bukan hanya hasil akhirnya yang dinikmati, namun dimulai dari proses kreatifnya. Sebagai perempuan, saudari Endang membuktikan bahwa dengan berkesenian kain perca sekaligus dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah lingkungan. Apa saja dapat digunakan sebagai bahan baku atau media untuk berkesenian, termasuk kain perca yang beragam warna dan corak. Melalui aktivitas berkesenian dengan kain perca saudari Endang telah menjalankan peran produktif berkesenian dan sekaligus menjalankan peran mengelola komunitas sosial, termasuk melindungi lingkungan. Aktivitas berkesenian sebagaimana dilakukan saudari Endang juga menjadi bukti bila perempuan mampu mengolah kreativitasnya akan menjadi sarana pemberdayaan bagi dirinya sebagai perempuan, serta akan berdampak pada kesejahteraan keluarga, bahkan komunitas yang ada di sekitarnya. Selamat kepada saudari Endang, semoga semakin banyak karya-karya baru yang dihasilkan dari bahan kain perca. Semoga ide-ide kreatif saudari Endang semakin mencerahkan dan menjadi inspirasi bagi pekerja seni yang lain, khususnya bagi perempuan-perempuan lain untuk mengembangkan kain perca agar dapat tampil sebagai benda bernilai seni dan sekaligus bernilai ekonomi. (NB: Sambutan ini disampaikan oleh Dra. Pinky Saptandari, MA pada pembukaan pameran seni rupa “Estetika Kain Perca”, karya FR. Endang Waliati, di Galeri Surabaya, 24 Oktober 2008) (Henri Nurcahyo/ brangwetan.wordpress.com, 25 Oktober 2008)

Lukisan Kain Perca pun Mempesona, Lapindo yang Termahal

Media lukisan tak hanya cat minyak, acrylic, cat air, crayon, pastel, dan sejenisnya, di atas kanvas atau papan. Kain perca pun bisa jadi media lukisan yang tak kalah eksotik dan menarik. Itu dibuktikan oleh Fransisca Romana Endang Waliati saat berpameran Estetika Kain Perca di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, Jumat (24/10). Dalam eksibisi, seniman asal Porong, Sidoarjo, ini memajang 29 karya yang bisa dikoleksi pengunjung. Ia tak terlalu mahal mematok hasil karyanya. Hanya kisaran Rp 400.000 hingga Rp 5 juta. Paling mahal adalah lukisan yang diberinya judul Lapindo. Ia menyebut karya ini sebagai yang terberat. Ini terinspirasi oleh situasi di sekitar rumahnya, Porong. Pengerjaan karya itu kerap terhenti oleh tangisan pengungsi. “Bayangkan jika tiba-tiba Anda kehilangan sesuatu yang sudah lama dimiliki. Rumah saya memang belum tenggelam, tapi saya merasa kehilangan juga,” jelas Endang. Tak hanya kain dan serat benang yang dijadikan kolase. Uang pun bisa jadi media. Karya berjudul Tiga Topeng merupakan kolase potongan uang Rp 100.000-an. “Intinya banyak media yang bisa digunakan untuk menghasilkan karya seni,” tambahnya. Endang menekuni karya bermedia kain perca ini sejak 1985. Ia merasa nyaman, karena tak harus menghirup aroma cat dan oil yang menyengat yang kerap membuatnya alergi dan pusing. Dengan kain perca, ibu dua anak ini semakin asyik berkarya hingga hasil kerja kerasnya itu telah tersebar hingga ke Prancis dan Belanda. (mg1/ Harian Surya, 25 Oktober 2008)

Manfaatkan Kain Perca Jadi Karya Seni Rupa

Seniman asal Desa Mindi, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Fr. Endang Waliati, memanfaatkan kain perca (limbah atau sisa jahitan) menjadi karya seni rupa yang akan dipamerkan di Galeri Surabaya. "Karya-karya saya akan dipamerkan di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda, 24 Oktober hingga 26 Oktober 2008," kata Endang di Surabaya, Sabtu. Ibu dua puteri kelahiran Surabaya, 27 Juni 1959 itu menjelaskan, banyak media yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan karya seni yang sangat menarik, seperti kain perca. Endang mengemukakan, dirinya tidak sekadar menempel-nempelkan kain perca itu, melainkan mengurai kembali menjadi serabut-serabut benang kemudian dipotong pendek-pendek, hingga berfungsi menggantikan cat dalam lukisan. Perempuan yang tinggal hanya belasan meter dari tanggul semburan lumpur Lapindo itu sudah puluhan tahun menggeluti kain perca sebagai bahan baku karya seni rupa. Karena itu komunitas perupa sering memanggilnya dengan sebutan Endang Perca. Endang sudah beberapa kali menggelar pameran tunggal di Hotel Mirama, juga di Galeri Surabaya, serta beberapa kali pameran bersama di Ancol Jakarta, Yogyakarta dan Trawas, Mojokerto. Pengamat seni rupa, Henry Nurcahyo mengemukakan, dalam hal pemanfaatan kain perca sebagai bahan baku seni rupa ini tampaknya Endang tidak memiliki saingan yang berarti. "Apalagi Endang sudah berada pada tingkatan tidak sekadar membuat karya kolase kain perca, melainkan mengembalikan hakekat kain menjadi serabut benang-benang," katanya. Menurut dia, kain perca bukan sekadar menjadi karya kerajinan belaka, melainkan memasuki wacana "Estetika Kain Perca", sebagaimana yang menjadi tema pamerannya kali ini. Keterangan Foto: Salah satu karya Endang yang terbut dari kain perca dengan judul "Desa yang Hilang". Karya yang menyerupai lukisan itu bercerita mengenai desa yang hilang akibat lumpur Lapindo. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 18 Oktober 2008)

Selasa, Oktober 21, 2008

Tujuh Perupa Muda Unjuk Karya

Jagat seni rupa di Surabaya terus menggeliat. Tujuh pelukis muda mengadakan pameran bersama di Galeri Surabaya pada 17-23 Oktober. Mereka menunjukkan bahwa karyanya layak diapresiasi. Tujuh perupa muda itu adalah Anas Ali Imron, Bayu Edi Iswoyo, Baqy Sururi, Didit Trianto, Febrianto, Justian Jafin W.B., dan Taufiq. Mereka adalah alumnus SMKN 11 Surabaya pada 2008. Pameran kali ini mengusung tema Me-Rock-Art (baca: meroket). ''Ada sejuta rasa saat mengadakan pameran ini. Sebab, pameran ini kali pertama bagi kami,'' kata Taufiq, 17. Sebenarnya, ide mengadakan pameran itu sudah tercetus saat mereka masih duduk di bangku sekolah Jurusan Seni Rupa Murni SMKN 11. Namun, ada berbagai alasan yang membuat mereka ragu. ''Sempat terpikir bagaimana nanti reaksi masyarakat terhadap karya kami,'' tambah Anas, 19. Namun, akhirnya mereka membulatkan tekad untuk mewujudkannya. Sebab, kata Taufiq, untuk memiliki jam terbang yang tinggi, mereka harus melalui proses semacam itu. ''Kami ingin menjadi seorang perupa, tidak hanya pelukis,'' tambahnya. Dasar itulah yang membuat tujuh perupa muda itu menumpahkan isi hati mereka dalam kanvas. Mereka mengaku tidak terbebani dengan karya-karya orang lain. Misalnya, tiga karya Taufiq. Mahasiswa Jurusan Seni Rupa Unesa itu membuat lukisan dengan teknik mixed on canvas. Karyanya yang berjudul Cinta yang Membara merupakan lukisan dekoratif.(jan, ari/ Jawa Pos, 21 Oktober 2008)

Minggu, Oktober 19, 2008

Pelukis Pemula Ingin Meroket

Tujuh pelukis pemula jebolan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) atau SMK 9 Surabaya pameran bersama di Galeri Surabaya (GS) bertajuk “MeRock Art”. Mereka menampilkan 12 karya, mulai Jumat (17/10) Kamis (23/10). Pelukis yang tampil, Anas Ali Imron, Bayu Edi Iswoyo, Didit Trianto, Febrianto, Justian Jafin Wibisono, Moch. Baqy Sururi, dan M. Taufiq. Pameran alumni SMSR 2008 yang kedua itu juga merupakan ajang reuni, setelah pameran yang pertama berupa karya tugas (TA) sekolah. “Daripada mencorat-coret baju dan konvoi yang tiadak gunanya, lebih baik menggelar pameran,” kata Moch Baqy Sururi tentang pameran TA-nya. Sementara tajuk “Me Rock Art”, tambah Didit Trianto, merupakan plesetan dari kata “meroket”. “Harapannya, dengan pameran ini kami bisa meroket, sekaligus memberikan sumbangsih terhadap dunia seni lukis,” tambahnya. Karya yang dipajang antara lain Reminisce karya Anas Ali Imron, Under Fresh dan Untitle (Justian Jafin Wibisono), Indahnya Sang Malam, Cinta yang Membara, dan Wanita Malam (M. Taufiq), Air & Api dan Tanah & Kehidupan (Bayu Edi Iswoyo), Big vs Small dan Surabaya so Sweet (Didit Trianto), Aku Si Kambing Malang (Moch Baqy Sururi), Sepu-Sepurane (Febrianto). Karya Frebrianto Sepu-Sepurane mengkritik masalah urbanisasi, setelah Lebaran. Dia menggambarkan, kereta api yang merupakan sarana yang banyak diminati saat Lebaran. Di sampingnya terdapat dua unggas bebek putih dan satu bebek kuning. “Bebek putih melambangkan orang kota dan bebek kuning orang desa. Orang desa yang di kota setelah lebaran biasanya mengajak saudaranya untuk mengadu nasib di kota,” kata pelukis yang mengidolakan pelukis Agus Suwage ini. Karya Baqy Aku Si Kambing Malang, berusaha mengangkat problematika di kalangan bawah. Kambing yang disembelih adalah simbol masyarakat bawah dan batu mewakili beban hidupnya. “Sekalipun hidup banyak cobaan, kita harus tetap berjuang,” tambahnya. Surabaya dalam kaca mata Didit Trianto adalah kota kebanggan. Dalam karyanya Surabaya so Sweet dia ingin mengangkat sebagai kota yang dingin dan manis, seperti minuman ringan,” katanya. Lain halnya dalam Big vs Small, Didit mengangkat tema politik lewat simbol kaleng minuman ringan. Menyimbolkan orang yang berkuasa dan bisa berbuat semaunya dan orang lemah yang cenderung bisa diperdaya. (K13/ Surabaya Post, 18 Oktober 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Sabtu, Oktober 18, 2008

Alumni SMSR Surabaya Pamer Lukisan Bersama

Sebanyak tujuh alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya menggelar pameran lukisan bersama di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda Surabaya, 17 hingga 23 Oktober 2008. Ketujuh seniman muda berusia antara 17 hingga 18 tahun asal Kota Surabaya itu adalah, Anas, Bayu Edi Iswoyo, Febrianto, Didit T., Jafin Rock, M. Taufik dan Baqi. Bayu Edi Iswoyo di Surabaya, Jumat mengakui, mereka yang berpameran ini merupakan pendatang baru yang lulus tahun 2008 dan kini mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). "Kendati masih baru, kami ingin menatap masa depan sesuai dengan tema pameran ini, 'Me Rock Art' yang bisa diartikan meroket. Kami ingin ke depan menghasilkan karya yang lebih baik," ujarnya. Mahasiswa Unesa itu mengemukakan, lewat pameran ini, mereka ingin menampilkan identitas masing-masing dalam berkarya. Karena itu obyek lukisan maupun gayanya tidak terikat dalam tema tertentu. "Kami menampilkan karya yang bebas sesuai identitas masing-masing. Ada yang realis, abstrak dan ada juga yang graffiti. Kami menggunakan cat minyak dan ada juga yang menggunakan media akrilik," katanya. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 17 Oktober 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Tujuh Seniman Gelar Pameran Bersama di Surabaya

Sebanyak tujuh alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya menggelar pameran lukisan bersama di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda Surabaya, 17 hingga 23 Oktober 2008. Ketujuh seniman muda berusia antara 17 hingga 18 tahun asal Kota Surabaya itu adalah, Anas, Bayu Edi Iswoyo, Febrianto, Didit T, Jafin Rock, M. Taufik dan Baqi. Bayu Edi Iswoyo di Surabaya, Jumat, mengakui, mereka yang mengadakan pameran ini merupakan pendatang baru yang lulus tahun 2008 dan kini mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). "Kendati masih baru, kami ingin menatap masa depan sesuai dengan tema pameran ini, Me Rock Art yang bisa diartikan meroket. Kami ingin ke depan menghasilkan karya yang lebih baik," katanya. Mahasiswa Unesa itu mengemukakan, lewat pameran ini, mereka ingin menampilkan identitas masing-masing dalam berkarya. Karena itu, obyek lukisan maupun gayanya tidak terikat dalam tema tertentu. "Kami menampilkan karya yang bebas sesuai identitas masing-masing. Ada yang realis, abstrak dan ada juga yang graffiti. Kami menggunakan cat minyak dan ada juga yang menggunakan media akrilik," katanya. (meg/ kapanlagi.com, 17 Oktober 2008)

Selasa, Oktober 14, 2008

Tarian Proletar dan For Live Tampil di Balai Pemuda

Situasi prihatin tidak hanya bisa direspon dengan gerutu tapi juga menarik jadi inspirasi karya seni. FATHUR ROJIB pelukis asal Sidoarjo misalnya, mewujudkan karya visual beraliran realisme satire dari situasi prihatin masyarakat di sekilingnya. Sebut saja karya berjudul "Tarian Proletar". Dalam karya yang ini mengungkap cerita bagaiman getirnya rakyat kecil ini, seorang lelaki dengan telanjang kaki, telanjang dada dirantai menari demi uang receh. Sedang di pergelangan kaki kanan rantai panjang dikendalikan seekor kera sambil terkekeh. Kata ROJIB pada RULLY reporter Suara Surabaya, Sabtu (11/10), nasib rakyat kecil seakan kera, bahkan kera pun menertawainya. Lain halnya karya ROJIB yang lain berjudul "For Live". "For Live" juga Tarian Proletar diantara lima karya ROJIB yang sekarang dipamerkan di Balai Pemuda Surabaya. FATHUR ROJIB berpameran di Galeri Surabaya bersama S. WAHYUDI pelukis juga SANTOSO pematung. Mereka mengangkat judul "Interrealitas". Karya-karya dalam pameran ini menyoroti situasi prihatin bangsa ini. Seperti karya instalasi patung SANTOSO berjudul "Keputusan Terakhir". Ada enam patung nampak memakan anggota tubuhnya karena situasi getir yang dialami rakyat kecil.(Iping Supingah/ SuaraSurabaya.net, 11 Oktober 2008)

Kamis, Oktober 09, 2008

Pameran Lukisan “Disharmoni”

Dua pelukis Jatim, Dharganden dan N. Roel berpameran bersama di Galeri Surabaya (GS) dengan tema “Disharmoni”,(4-7/10). Kedua pelukis menyajikan 19 karya pilihannya. Tema “Disharmoni” diangkat karena tidak bisa dipungkiri bahwa alam kini telah rusak. Dari sisi manusianya telah menjadi intoleransi. Hal yang sepele membuatnya tempramental dan memunculkan tindakan anarkis seperti tawuran dan lainnya. Di skala lebih besar, lubang lapisan ozon semakin menganga hingga menyebabkan pemanasan global. Perlombaan senjata dan perang terjadi di mana-mana. Sementara itu banyak negara miskin kekurangan pangan. Mungkin karena arogansi, mungkin pula karena kepentingan atau mungkin sudah menjadi keharusan zaman. Akhirnya sampai pada kesimpulan telah terjadi ketidakharmonisan. Itulah alasan mengapa Dharganden dan N. Roel tampil dengan tema “Disharmoni” dalam pamerannya. Bagi Darganden (Darsono), alam adalah guru terbaik dalam memberikan pengalaman dan pengetahuan. “Dalam melukis, saya tidak memfokuskan pada salah satu obyek tapi mengalir begitu saja lewat realis naif,” ungkap Dharganden. Kondisi masyarakat di sekitarnya yang menjadi tema sentral karyanya. Dia belajar melukis secara otodidak dan mulai profesional sejak 1990. Pria kelahiran Agustus 1957 ini telah menghasilkan sekitar 150 lukisan. Dari 10 karya yang dipemerkan, salah satu yang favorit adalah "Tanda-tanda Populasi Zaman". Karya itu dibandrol harga 2.500 dollar Amerika. Dharganden menyelesaikan lukisannya selama tiga minggu, tepatnya awal Oktober 2008. Lukisan 150 × 155 cm itu bermedia acrylic di atas kanvas. Sementara N. Roel juga memilih tema kritik sosial dalam karyanya. “Masalah sosial tidak akan pernah berhenti dan terus berkembang,” ungkap pria pemiliki nama Nasrulloh ini. Pelukis yang berdomisili di Geneve, Swiss, itu berpameran di GS sekaligus tilik keluarga di Tanggulangin. Dia memajang sembilan lukisan. Pria kelahiran Sidoarjo, April 1961, ini belajar melukis secara otodidak dan mulai menjadi pelukis profesional sejak 1988. Karya yang dianggap favorit berjudul "Transformasi Karakter". Karya itu ditawarkan 1.000 dollar Amerika. Bagi N Roel, dulu wayang sebagai media lakon dan masing-masing memiliki karakter manusia. Kini sebaliknya, manusia yang mewakili karakter wayang. “Ada yang berkarakter dewa, pendeta, satria, dan bahkan Buta (raksasa),” jelas dia.(K13/ Surabaya Post, 7 Oktober 2008/ Foto Repro Hanif Nashrullah: "Fluktuatif", Karya Lukis Dharganden)

Minggu, Oktober 05, 2008

Kritik Sosial dari Swiss

Duo pelukis, N. Roel, 47, dan Dharganden, 50, berkolaborasi menerjemahkan kritik sosial di atas kanvas. Sembilan belas karya mereka berdua dipamerkan di Galeri Surabaya mulai kemarin (4/10) hingga 7 Oktober mendatang. Bertajuk Disharmoni, pameran tersebut ingin bercerita tentang keadaan di sekitar. "Ketidakharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Keadaan berubah menjadi intoleransi," kata Roel, pelukis asal Tanggulangin yang kini bermukim di Jenewa, Swiss. Oleh Roel, ketidakharmonisan digambarkan dengan visualisasi wayang. Di dalam sembilan karya yang langsung diboyong dari Swiss tersebut terdapat gambar wayang. Sebagian karyanya itu sudah pernah dipamerkan di Swiss. "Saya memang ingin mengangkat falsafah wayang pada orang Eropa," katanya. Meski objek utamanya wayang, pelukis yang memiliki nama Narulloh tersebut tetap menyelipkan kritik sosial. Itu ditemui pada lukisan berjudul Manusia sebagai Bayangan Wayang. Dalam lukisan tersebut tergambar sebuah gunungan di tengah. Lalu, di samping kanan kiri terdapat tokoh pewayangan. Di bawah tokoh wayang tersebut ada bayangan berbentuk manusia. Dalam lukisan beraliran semi pop art itu, Roel ingin menyampaikan bahwa sekarang manusia mewakili karakter wayang. "Kalau dulu, wayang merupakan media lakon yang mewakili karakter manusia. Sekarang keadaan berbalik," tuturnya. (jan, ayi/ Jawa Pos, 5 Oktober 2008/ Foto Repro Hanif Nashrullah: "Peduli terhadap Sesama", Karya Lukis Dharganden)

Sabtu, Oktober 04, 2008

Agenda Galeri Surabaya, Oktober 2008

04-07 Pameran Seni Lukis: DISHARMONI, karya N. Roel & Dharganden. 09-15 Pameran Seni Rupa: INTERREALITAS, karya F. Rojib, G. Wahyudi & Santoso. 17-23 Pameran Lukisan: ME ROCK ART, karya Anas, Bayu El, Febrianto, Didit T, Jafin Rock, M. Taufik & Baqi. 24-26 Pameran Seni Rupa: ESTETIKA KAIN PERCA, karya Endang. 28-2November Pameran Seni Lukis Tunggal: MULTIDIMENSI, karya Hari Prajitno. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)

Jumat, September 26, 2008

Angkat Seni Instalasi Fotografi

Selama ini orang menganggap karya seni mesti bagus, rapi, dan mulus. Tapi, desainer estetika Agus Gembel H.S.T. berpendapat lain. Pendapatnya itu seperti terekspresikan dalam karyanya yang dipamerkan dalam Kemasan: Pameran Bersama Seni Apropriasi Fotografi di Galeri Surabaya kemarin (24/8) hingga 28 September. Dalam karya berjudul Response for the Sickness is Blue, dia merespons benda-benda bekas. Mulai daun pintu, papan bekas proyek bangunan, bambu tempat umpan ikan, hingga paku-paku yang susah berkarat. Semua digabungkan dengan foto-foto seorang laki-laki yang sedang mengangkat kakinya, sehingga terbentuk sebuah bingkai unik. Karya lain diberi judul Jangan Pukul Orang Tidur. Agus membuat konsep menarik di sini. Dia meletakkan empat ban mobil bekas yang ditempeli dengan puluhan foto ukuran 2R (6 x 9 cm) bergambar pose orang tidur. ''Foto-foto itu saya ambil ketika melakukan perjalanan,'' kata alumnus Teknik Arsitektur ITS itu. Di atas ban terdapat sak tinju yang digantung. Di sisi kanan kirinya ditempeli foto orang tidur dan orang yang berteriak. Foto-foto tersebut dibiarkan sobek terkena efek dari pukulan pengunjung pada sak tinju. Foto orang berteriak yang sudah sobek dan lusuh itu lalu diganti Agus dengan foto yang utuh. ''Memang sudah lusuh, tapi kalau foto itu saya bingkai dengan rapi lagi, akan jadi karya menarik,'' jelasnya. Dan, itu akan terus dilakukan hingga pameran selesai. Pesan yang ingin disampaikan Agus dalam karya itu, terkadang seseorang tidak menyadari bahwa dirinya memberikan masalah bagi orang lain. ''Setiap orang ingin dimengerti, tapi dia tidak mau mengerti orang lain,'' tegasnya. Seperti judulnya, sebenarnya foto orang tidur yang tertempel di sak tidak boleh dipukul. Namun, yang terjadi, foto tersebut sobek menjadi beberapa bagian. ''Itu bukti bahwa kita belum mau mengerti orang lain,'' jelasnya. Tidak hanya Agus. Ada delapan seniman foto lain yang memamerkan karya-karyanya. Mereka adalah Sapto Agus Kristanto (Jogja), Ucie Mickey (Malang), T.P. Sasongko (Surabaya), Zamroni (Jakarta),D.K. Wira S. (Jakarta), Danang Yogaheratno (Jogja), Iin (Surabaya), dan Achan (Malang). Total 17 karya. Karya unik lain berjudul Rest-Kontemplasi-Moving yang terdiri atas tiga foto karya Zamroni. Foto yang dihasilkan tidak melalui kamera melainkan dari scanner. Salah satunya tumpukan resep dokter, bungkus obat, sendok, surat konsultasi, resep dokter, hingga kuitansi pembayaran.(jan, ari/ Jawa Pos, 25 September 2008)

Rabu, September 24, 2008

Foto Unik Hadir di Galeri Surabaya

Sebanyak 15 foto unik hasil kreasi sembilan fotografer muda asal Surabaya, Malang, Jakarta, dan Jogjakarta mulai Selasa (23/9) malam dipamerkan di Galeri Surabaya Komplek Balai Pemuda. Pameran bertajuk “Pesat” atau Pameran Bersama Seni Apropriasi Fotografi ini digelar hingga 28 September 2008. Ketua Penyelenggara sekaligus peserta pameran, TP Sasongko, di Balai Pemuda Surabaya, Selasa (23/9), mengatakan, tujuan diadakannya pameran untuk mengangkat kembali peristiwa, tokoh, atau ikon masa lalu menjadi sesuatu yang lain. ”Kami hadirkan beberapa ikon dan peristiwa masa lalu ke permukaan agar masyarakat khususnya generasi muda semakin peka terhadap perubahan,” katanya. Sembilan fotografer yang ikut adalah Agus Gembel asal Surabaya, Asan dari Malang, Dekawira S asal Jakarta, Danang Yoga dari Jogjakarta, Foxxin dari Surabaya, Ueliemicky asal Malang, Sapto Agus dari Jogjakarta, TP Sasongko dari Surabaya, dan Zamroni dari Jakarta. Mereka tergabung dalam Pesat dan bertujuan sama yakni ingin menyampaikan pesan melalui media gambar. Sasongko berharap, pameran yang baru pertama kali digelar di Surabaya ini mampu menjadi inspirasi bukan hanya bagi penciptanya, tetapi secara umum untuk seluruh lapisan masyarakat, khususnya para pecinta seni fotografi. ”Kami sangat yakin pameran ini mampu menampilkan sesuatu yang unik dan berbeda,” ujarnya. Dari 15 karya yang dipamerkan ada beberapa yang cukup unik, di antaranya gambar Monalisa, suasana belajar mengajar di sebuah ruang sekolah, dan foto lima perbedaan pada gambar penyaji dangdut. ”Foto-foto ini seperti mengingatkan kita tentang kejadian tempo dulu,” tuturnya. Menurut Sasongko, dulu, di sebuah majalah khusus anak-anak ada halaman yang menampilkan dua buah gambar yang nyaris sama. Pada halaman itu, pembaca diajak untuk mencari lima perbedaan yang ada di dua gambar. Tujuan penerbit kala itu adalah untuk melatih kepekaan anak-anak terhadap gambar. Tapi sayangnya gambar seperti itu sekarang sudah tidak ada lagi. ”Karena itulah kami menampilkan gambar lima perbedaan, untuk mengingatkan pada generasi muda jika dulu ada satu majalah yang sangat mendidik,” ungkapnya. Selain gambar lima perbedaan, pengunjung juga akan diajak berimajinasi pada sebuah gambar seorang wanita yang terlihat menganiaya bocah di bawah umur yang tidak berdaya. Pada gambar itu, tangan kiri wanita terlihat mencekik leher anak kecil sedangkan tangan kanannya mengepal ke udara seakan mau memukul. Rencananya, jika pameran ini bisa diterima masyarakat Surabaya, Sasongko beserta delapan fotografer lainnya akan menggelar pameran serupa di Jakarta. ”Kami masih membicarakannya, dan coba menawarkan beberapa rekan untuk pameran di Jakarta,” katanya. Ketika ditanya apakah foto-foto ini akan dilepas jika ada kolektor atau peminat seni yang tertarik, Sasongko menyerahkan sepenuhnya pada sang pencipta atau fotografernya. Sebagai panitia, ia hanya menyediakan tempat untuk pameran. (Text & Foto: hjr/ d-infokom-jatim.go.id)

Selasa, September 16, 2008

Galeri Surabaya Gelar Bursa Lukisan Murah

Galeri Surabaya di komplek Balai Pemuda Surabaya menggelar bursa seni rupa dua dimensi atau lukisan dengan harga murah mulai 15 hingga 21 September 2008. "Harganya sangat terjangkau karena murah, mulai dari Rp500 ribu hingga paling mahal hanya Rp3.000.000,00," kata Manajer Galeri Surabaya, Farid Syamlan, kepada ANTARA di Surabaya, Selasa (16/9). Ia mengemukakan, harga yang ditetapkan dalam pameran itu sudah didiskon sehingga sangat terjangkau oleh kolektor dari berbai kalangan. Misalnya untuk lukisan yang dijual Rp3.000.000,00 harga aslinya antara Rp9.000.000,00 hingga Rp12 juta. Bursa lukisan bertema, "Jangan Salah Pilih" itu diikuti oleh 12 pelukis dari Jatim, antara lain, Anang Timur (Surabaya), Gusar (Mojokerto), Cak Paat (Surabaya), Udin (Gresik), Andik Ananta (Surabaya) dan lainnya. "Puluhan lukisan digelar dalam pameran itu, dengan berbagai motif, mulai dari kaligrafi, sosial hingga pemandangan alam," kata Farid yang juga Humas Dewan Kesenian Surabaya (DKS) itu. Meskipun tergolong murah, namun ukuran lukisan yang dipamerkan cukup besar, seperti 80 x 60 Cm, 90 x 70 Cm dan lainnya. Menurut dia, pameran kali ini memang tergolong lebih transparan karena menggunakan label bursa. Dengan menggunakan kata bursa, maka diharapkan masyarakat lebih memahami bahwa karya-karya itu memang untuk dijual. Namun demikian, Farid menolak anggapan bahwa pameran itu meniru bursa seni rupa yang juga digelar di Balai Pemuda beberapa bulan yang lalu. "Kami hanya menyediakan pilihan-pilihan untuk mereka yang ingin mengoleksi lukisan dengan harga murah," katanya. (Masuki M. Astro; ANTARA, 16 September 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Jangan Salah Pilih di Galeri Surabaya

Setelah pameran lukisan kaligrafi bertema “FirmanMu Sumber Kehidupan” dan menampilkan enam pelukis, kini Galeri Surabaya (GS) di Kompleks Balai Pemuda, menggelar bursa seni rupa dua dimensi bertema “Jangan Salah Pilih”. Pameran bursa nanti dimulai 15-21 September. Penyelenggaranya adalah Paguyuban Seni Seger Waras (PSSW) Surabaya. Salah satu anggotanya, kata Manjer GS, Farid Syamlan adalah pelukis Anang Timur. Pameran ini digelar, selain untuk apresiasi juga memberi peluang para pecinta lukisan dan kolektor untuk mengapresinya. Pada akhir bulan, di tempat sama digelar pameran seni Foto Grafi Apropriasi “Kemasan” karya Mix Media. Penyelenggaraanya pada 23-28 September.(gim/ Surabaya Post, 15 September 2008)

Sabtu, September 06, 2008

Kaligrafi Tak Pernah Mati

Merosot Sejak Era Amri Yahya - Perkembangan dunia seni lukis di Jawa Timur (Jatim), terutama kaligrafi dikatakan oleh salah seorang pelakunya, tidak akan pernah mati. Namun bagi pelukis lain, meski tidak akan pernah mati namun juga tidak “hidup”. Perkembangannya semakin merosot jika dibandingkan dengan tahun 1980-1985 an. Saat itu, dunia seni lukis kaligrafi terlihat menonjol dan gaungnya juga tidak hanya Jatim tapi menasional. “Apalagi saat itu masih getol-getolnya Amri Yahya (Jogjakarta) dan AP Pirous (Bandung),” kata pelukis kaligrafi senior dari Kediri, M Djuhandi Djauhar yang ditanya tentang perkembangan dunia kaligrafi saat ini (Surabaya Post, 4 September). Pada saat itu, tambah pria kelahiran Kota Tahu pada 1948 ini, dukungan dan antusias pelukis bergitu terlihat. “Pak Amri dan Pak Pirous, adalah maestro yang jasanya terhadap perkembangan seni kaligrafi Indonesia begitu besar,” jelas Djuhandi yang ditemui saat mempersiapkan pameran bersama di Galeri Surabaya (GS) – Kompleks Balai Pemuda, mulai Jumat (5/9) ini. Namun sejak kurang berkiprahnya dua pelukis itu, termasuk meninggalnya Amri Yahya, kondisi atau perkembangan dunia seni lukis kaligrafi terus merosot hingga kini. Pameran, kata dia, juga jarang sekali. Kalaupun ada, hampir selalu dikaitkan dengan peristiwa atau hari besar Islam. “Seperti saat Ramadan begini,” kata dia. Padahal, kata Mantan Pengawas Pendidikan Agama Islam Kandepag, Kediri, hal itu tidak perlu dilakukan. Tidak harus menunggu hari besar Islam atau puasa. Kalau mau pameran, ya pameran saja. Karya yang dihadirkan juga tidak usah dibedakan antara kaligrafi dan lukisan lainnya, baik kontemporer atau pemnadangan. Rupanya, tambah pelukis kaligrafi lainnya, Bambang Tri ES, kondisi ini sepertinya belum disadari banyak pelukis. Sehingga, kalau pameran juga selalu mencari suasana yang pas, termasuk seperti pameran di GS ini. Kalau tentang pasar, baik Djuhandi maupun Bambang Tri, sama-sama mengatakan, masih kalah jauh dengan lukisan lain, terutama kontemporer. Namun keduanya, termasuk pelukis lain yang kini pameran di GS, berusaha mengangkat lukisan kaligrafi ke masyarakata. Salah satu caranya juga dengan pameran. Untuk selanjutnya, mereka akan berpameran lebih sering dan tidak terkait dengan hari besar keagamaan, khususnya Islam. “Seperti AD Pirous itu, meski karyanya dikenal kaligrafi, namun pameran juga dilakukan di mana-mana. Tidak membedakan aliran. Karya Pak Pirous juga tetap mempunyai apresiasi tinggi. Ini yang perlu disadari oleh teman-teman pelukis,” jelas Bambang yang dalam pemerannya menampilkan QS Al Baqoroh 45. Pameran yang digelar di GS hingga 13 September, tambah Djuhandi, mestinya ada sembilan orang. Namun yang ikut hanya enam orang. Salah seorang pelukis yang dianggap sebagai penggagas, Paib dari Bawean, tidak bisa ikut, karena ada kesibukan di Kuala Lumpur (KL) Malaysia yang tidak bisa ditinggalkan. Kelompok yang pameran di GS dengan tema “FirmanMu Sumber Keteduhan Hati” ini, rencananya tidak hanya pameran di Jatim dan Indonesia saja tapi juga ke luar negeri. Dan keliling Asia Tenggara. “Mudah-mudahan setelah Pak Paib datang, perencanaan bisa dilanjutkan,” kata dia.(gim/ Surabaya Post, 5 September 2008/ Foto: tamanbudayayogyakarta.com)

Pamer Kaligrafi dari Lima Pelukis Jatim

Sebanyak lima pelukis dari berbagai daerah di Jawa Timur (Jatim) memamerkan karya kaligrafi bertema "Firman-Mu Sumber Keteduhan Hati" di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, 5 - 13 September 2008. Bambang Tri ES, salah seorang pelukis, kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat, menjelaskan bahwa para pelukis akan menampilkan sekira 25 lukisan. "Mereka adalah, B. Sulaiman (Surabaya), Zaid Juber (Banyuwangi), M. Djuhadi Djauhar (Kediri), A. Rahman (Surabaya), dan saya sendiri," kata pelukis asal Sidoarjo itu. Ia menjelaskan, mereka awalnya bertemu dalam kegiatan Pasar Seni awal 2008 lalu di Balai Pemuda Surabaya. Setelah itu mereka sepakat untuk menggelar pameran bersama. Pada pameran kali ini, Bambang menampilkan kaligrafi yang diambil dari petikan ayat-ayat Alquran, seperti Surat Al Baqarah, Al Ikhlas, Ibrahim dan Lukman. Ia mengemukakan, lukisan kaligrafi itu memiliki makna spiritual mendalam bagi para pelukisnya. Selain untuk ekspresi estetis, lukisan kaligrafi juga menjadi sarana syiar agama. "Lewat lukisan kaligrafi kita bisa menyebarkan makna dari ayat-ayat suci Alquran. Saya kira ini akan lebih menyentuh karena ada aspek seninya," katanya. Lewat lukisan kaligarfi dengan ukuran 100 Cm x 100 Cm, Bambang berharap, penikmatnya bisa lebih memahami makna ayat suci dengan cara yang lain. (ANTARA, 5 September 2008)

Senin, September 01, 2008

Agenda Galeri Surabaya, September 2008

01-03 Pameran Sketsa dan Foto: PEDULI ANAK JALANAN, YATIM PIATU dan PSK, oleh Student Committee Association (STUECOSS). 05-13 Pameran Lukisan Kaligrafi: FIRMANMU SUMBER KETEDUHAN HATI, karya B. Sulaiman, Bambang Tri ES, Salim ND, Zaid Jubair, M. Djuhadi Djauhar, A. Rahman. 15-21 Bursa Seni Rupa Dua Dimensi: JANGAN SALAH PILIH, oleh Paguyuban Seni Seger Waras. 23-28 Pameran Seni Fotografi Apropriasi: KEMASAN, karya Mix Media. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)

Pameran Lukisan "Reproduksi"

Sebanyak 13 pelukis Surabaya berpameran bersama dengan tema "Reproduksi" di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda, mulai 17 - 23 Agustus. Para perupa ini adalah kawan lama yang jarang bertemu, kemudian sepakat berpameran. Kesepakatan itu kemudian menghasilkan kembali karya dalam bingkai "reproduksi" atau berproduksi kembali. Para pelukis lain yang terlibat, antara lain Ahmad Jaelani, Bayu, Moh Prayitno, Aries Andrianto, Suparman, Ahmadi Mulya, Elly Juliasih, Irawan, Sutomo, Nyoman Tri Putra, Andik, Agung Budi dan Fitrianto. Karya yang dipamerkan tidak ada pesan khusus, karena semuanya mengalir sesuai dengan pilihan masing-masing. Ada karya Pasar Buah dan Pasar Kelapa yang menggambarkan harapan agar pasar tradisional kelak bisa ramai kembali. Kemudian ada karya judul Love is Beautifull yang menyuguhkan seorang ibu muda sedang menggendong anaknya. Ada karya Koi dengan obyek sejumlah ikan koi dan ada obyek bunga. Selain itu juga ada obyek kuda dalam berbagai model dan warna. (Surabaya Post, 21 Agustus 2008/ Foto: pasarsenilukis.com)

Reproduksi Lewat Goresan

Arti reproduksi bisa diterjemahkan berbeda lewat goresan di atas kanvas. Tak melulu mengenai kelahiran. Karya Nyoman Tri Putra misalnya. Lelaki yang biasanya melukis abstrak itu menciptakan lukisan ornamen kehidupan sebagai perwujudan reproduksi. Menggunakan media acrylic di atas kanvas 180 x 150 cm, Nyoman menggambarkan seorang anak laki-laki yang sedang duduk dengan anak melompat di sebelah kirinya. Serta, seorang laki-laki tua bertopi yang sedang mengolah tanah liat. Dalam lukisan tersebut, Nyoman berpesan agar seseorang harus benar-benar mempersiapkan jalan hidup. Dan, tidak sampai menyesal di hari tua karena telah dilahirkan. "Gambar anak yang melompat adalah gambaran agar cita-cita harus tinggi," tutur Nyoman. Karya Nyoman adalah salah satu di antara beberapa lukisan yang dipajang dalam pameran Forum Anak Negeri yang berlangsung rutin saat Agustus. Ada 13 pelukis -semuanya alumnus Seni Rupa Unipa- yang menunjukkan karya mereka di Galeri Surabaya mulai 17 hingga 23 Agustus. Meski rutin dihelat, pameran yang kali ini memajang 21 lukisan tersebut dinanti-nanti anggota Forum Anak Negeri. ''Terakhir saya ikut pameran pada 1996. Jadi, senang sekali bisa gabung kali ini,'' kata RR Elly Juliasih, salah seorang pelukis. Untuk itu, Elly membawa dua karya. Salah satunya berjudul Otak Wanita. Lukisan tersebut dikerjakan dengan teknik drawing dan memanfaatkan media tinta hitam di atas kertas. Goresan Elly menggambarkan ekspresi otak seorang wanita yang mewakili rasa marah, sedih, senang, dan susah. "Selain menjadi tema lukisan, reproduksi mewakili sebagian besar pelukis yang baru kali pertama mengikuti pameran ini," ujar Agung Budi S. MPd, Ketua Panitia. (jan, tia/ Jawa Pos, 20 Agustus 2008/ Foto: pasarsenilukis.com)

13 Perupa Surabaya Pamer Lukisan Reproduksi

Sebanyak 13 pelukis Surabaya mengadakan pameran bersama bertema “Reproduksi” di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda, 17 hingga 23 Agustus 2008. “Kami adalah kawan lama yang sudah jarang bertemu dan setelah bertemu sepakat untuk menggelar pameran dengan tema bebas,” kata Ahmad Jaelani di Surabaya, Rabu (20/8). Ia mengemukakan bahwa dalam pertemuan itu mereka sepakat untuk menghasilkan kembali karya dalam bingkai “reproduksi” atau berproduksi kembali. “Pada karya-karya yang kami pamerkan ini juga tidak ada pesan-pesan khusus karena semuanya mengalir sesuai dengan pilihan masing-masing,” kata seorang guru seni lukis privat di Surabaya itu. Ia sendiri menampilkan dua karya berjudul “Pasar Buah” dan “Pasar Kelapa”. Lewat karyanya ia menggambarkan harapan agar pasar tradisional kelak bisa ramai kembali. Pelukis lain yang tampil dalam pameran itu adalah, Bayu, Moh Prayitno, Aries Andrianto, Suparman, Ahmadi Mulya, Elly Juliasih, Irawan, Sutomo, Nyoman Tri Putra, Andik, Agung Budi dan Fitrianto. Mereka menampilkan karya beragam, seperti Ahmadi dengan judul “Love is Beautifull”. Lukisan itu menyuguhkan seorang ibu muda sedang menggendong anaknya. Suparman menampilkan karya “Koi” dengan obyek sejumlah ikan koi, Andik menampilkan karya dengan obyek bunga. Agung Budi menampilkan obyek kuda dalam berbagai model dan warna, sedangkan Fitrianto juga menampilkan obyek bunga. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 20 Agustus 2008/ Foto: pasarsenilukis.com)

Rabu, Agustus 27, 2008

Pameran Art Goes to Sun

Setelah pameran lukisan Reproduksi rampung pada 23 Agustus lalu, Galeri Surabaya langsung disambut dengan pameran lukisan abstrak dan mix media bertema Art Goes to Sun. Pameran yang diprakarsai delapan pelukis tersebut berlangsung mulai 24 hingga 30 Agustus. Para pelukis itu adalah Anwar Djuliadi, Yonosan, Hery Poer, Nomo Dwi Atmoko, Qusta, Nur Cholis, Djunaidi Kenyut, dan Sugeng Pribadi (Klemins). Awalnya, delapan pelukis tersebut sering bertemu dalam pameran di berbagai kota di Jawa Timur. Karena sering bertemu, muncul gagasan membuat pameran bersama. Art Goes to Sun, menurut Cholis, sebenarnya terjemahan dari Agustusan. Masih dalam suasana kemerdekaan, pameran tersebut menjadi wujud para seniman itu untuk meramaikan HUT Kemerdekaan RI. Tapi, sebenarnya Art Goes to Sun adalah harapan agar seni bisa menuju pencerahan. "Seperti matahari yang menjadi sumber kehidupan," ungkapnya. Dalam pameran tersebut, dua belas lukisan dipamerkan secara berjejer. Terdiri atas sepuluh lukisan abstrak dan dua lukisan mix media. "Sebagian besar di antara kami memang pelukis abstrak," lanjutnya. Misal, lukisan Cholis yang berjudul Perang-perangan Jadi Perang Beneran dan Bukan Agustusan. Kedua lukisan tersebut saling berkaitan cerita. Pada judul pertama, Cholis menggambarkan hubungan antarmanusia dalam menjalani kehidupan. Dulu teman, jadi lawan, dan sebaliknya. Sedangkan di lukisan Bukan Agustusan, ada tiga peristiwa yang digambarkan. Pada baris pertama diperlihatkan suasana perang. Perang tersebut berhenti sesaat ketika 17 Agustus tiba. Itu dituangkan pada baris kedua. Terakhir, perang diceritakan terjadi lagi. Cholis menyatakan lebih menyukai lukisannya yang berjudul Perang-perangan Jadi Perang Beneran daripada Bukan Agustusan. "Bukan Agustusan saya buat ketika kondisi hati sedang tidak menentu," ungkapnya. Itu terlihat dari lukisannya yang memakai banyak warna. Selain hitam, ada warna biru, kuning, merah, dan hijau. Sedangkan di lukisan satunya, dia merasa lebih mantap hati. "Lihat warna yang saya pakai. Hitam, putih, dan abu-abu," tutur lulusan seni rupa Unesa tersebut. Selain abstrak, terdapat lukisan mix media karya Hery yang berjudul Peradaban Sisa. Dalam karya itu, dia menggunakan media kain perca, karung goni, kertas koran, kardus, dan benang. Bahan-bahan tersebut dipotong olehnya, kemudian disatukan dengan teknik kolase (tempel). Di salah satu bagian, terdapat potongan koran yang dibingkai dengan kaca tapi menyatu dengan bagian-bagian lain. Lukisan berukuran 90 x 183 cm tersebut terdiri atas dua panel. (jan, ayi/ Jawa Pos, 26 Agustus 2008/ Foto: kenyuten.multiply.com)

Selasa, Agustus 05, 2008

INFECTED BRAIN: Kolaborasi Empat Komunitas Seni

Empat komunitas seni: lukisan, pematung, musik dan teater menyatu di Galeri Surabaya (GS), Senin (4/8). Ajang seni tersebut, intinya pameran lukisan dan patung bertema Infected Brain yang dihadirkan empat seniman Bandung, Doni Kabo, Yunis Kartika, Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati. Pembukaan yang dilakukan secara lesehan semalam, dimeriahkan komunitas penggebuk drum dan perkusi yang tergabung dalam “Drum Hero”. Ajang yang dikoordinir Doweh ini dengan berbagai permainannya berhasil menyita perhatian pengguna jalan Yos Sudarso (depan GS). Sebagian penonton, ada yang mendekat ke halaman GS dan ada yang nongkrong di pinggir jalan dan duduk di sepeda motor. Setelah menampilkan para musisi dengan berbagai kepiawaiannya, pembukaan diawali sambutan koornator pameran, Luhur Kayungga, dari komunitas Teater API Surabaya. “Ini sebuah terobosan. Pameran lukisan dan patung selama ini banyak kolaborasi dengan penari maupun musik. Namun kali ini lengkap. Ada drum dan perkusi, teater serta yang membuka adalah pematung, Noor Ibrahim,” kata Luhur. Dalam sambutannya, Ibrahim mengaku bangga dengan seniman Bandung yang pameran di Surabaya. Pria brewokan ini mengaku tahu proses yang dilakukan para perupa dari kota kembang ini, kontemporer dan bicara kekinian. “Saya salut,” jelas pria yang seblumnya banyak tinggal di Jogjakarta ini. Ibrahim juga didaulat membuka pintu ruang pamer yang diberengi gebukan drum yang dipajang di halaman GS. Begitu masuk ruang, pengunjung dikejutkan oleh lembaran plat yang terlihat dipenuhi dengan goresan-goresan. Karena letaknya persis di depan pintu, banyak pengunjung yang terkecoh. Apakah itu karya seni atau bukan. Karena itu, ada pengunjung yang menghindar, tidak menginjak, tapi ada yang acuh saja, menginjak plat yang memanjang itu. Pameran yang digelar hingga 10 Agustus ini, Doni Kabo menghadirkan delapan lukisan hitam putih yang sosoknya hampir sama. Setiap lukisan dipadukan dengan angka-angka yang memenuhi frame. Karya dengan satu sosok dengan posisi merenung berat, berjudul “Bagusnya Apa”. Di antara sosok pribadi Doni yang tampil dalam karya, beberapa penonton ada yang mengidentikan sosok itu lebih mirip dengan pelukis dari Tuban, Masdibyo. Terutama pada kumisnya yang tebal. Yunis Kartika, tampil dengan empat patung. Tiga patung, mulai pinggang hingga kepala dijajar berdekatan. Sementara bagian pinggang hingga kaki berdiri berjauhan. Disini, Yuni sepertinya tampil “nakal” karena retsluiting celana terbuka hingga celana dalamnya terlihat. Patung berjudul "The Fool #1" berukuran 80 x 40 x 30 Cm ini berbahan paper, crome, polymate, zipper, spray on manequin. Karya tubuh Yuni ini dibalut perekat perak yang mempresentasikan rutinitas pada otak saat mengontrol tubuh yang menjadikannya seolah robot. Sementara karya Sekarputri begitu familiar namun tidak biasa. Ruang yang ia ciptakan seolah melipat dimensi fisik dan imajinasi manusia. Sehingga, justru membesarkan nilai kemanusiaan yang dimilikinya dan yang membuatnya bukan robot. Figur yang dihadirkan cukup naif, termasuk ada boneka anak-anak. Karya Agung, yang mengangkat self portrait, sepertinya meninggalkan kesadarannya untuk menjalani perjalanan pada landscape yang berada dalam kepalanya. Karya Agung, sepertinya banyak dilakukan oleh perupa Surabaya. “Saya sudah melakukan karya yang seperti ini sejak beberapa tahun lalu,” komentar pelukis yang juga kurator, Agus Koecing. (Gimo Hadiwibowo/ Surabaya Post, 5 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Pameran Seni Berotak

Setelah Wadji M.S. unjuk gigi, Galeri Surabaya kembali diramaikan pameran seni rupa karya para seniman Bandung. Selain lukisan, mereka memajang patung, instalasi, dan drawing. Pameran bertema Infected Brain itu dibuka kemarin (4/8) dan akan berlangsung hingga 10 Agustus. Mereka adalah empat mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Yakni, Doni Kabo, Yunis Kartika (keduanya mahasiswa pascasarjana seni murni), Agung Prabowo (seni grafis), dan Sekarputri Sidhiawati (seni keramik). Saat pembukaan, mereka melakukan performance art. Doni Kabo dan Yunis Kartika dilakban di tembok, kemudian tubuh mereka ''ditembak'' dengan visual proyektor OHP. Perpaduan minyak, air, dan pewarna makanan itu memancar ke tubuh kedua perupa tersebut di dinding. Agung dan Puti -panggilan Sekarputri- meniup campuran tersebut dengan sedotan. Efek dari campuran itu seperti lampu lava. Tema Infected Brain ingin mengatakan bahwa semua karya yang mereka hasilkan berawal dari otak. Meski terdapat perbedaan dalam melihat ''otak'' di antara mereka. Pasangan Doni Kabo dan Yunis Kartika melihat otak lebih pada arti harfiah. Doni memamerkan delapan self-portrait yang menggambarkan dirinya dalam berbagai ekspresi. (jan, ari/ Jawa Pos, 5 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Empat Perupa Bandung Pameran di Surabaya

Sebanyak empat perupa asal Bandung mengadakan pameran di Galeri Surabaya dengan tema "Infected Brain", 4 - 10 Agustus mendatang. Pembukaan pameran empat perupa, yakni Doni Kabo, Yunis Kartika, Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati di komplek Balai Pemuda, Surabaya, Senin malam (4/7) dimeriahkan dengan atraksi "Drum Hero" yang merupakan komunitas drumer dan perkusi di Surabaya.
Yunis mengemukakan, ide karya mereka itu diilhami oleh film tentang semut yang memakan jamur beracun. Kemudian jamur itu tumbuh di kepala si semut. "Kalau untuk manusia, otak itu menjadi pusat kontrol dari semua aktivitas," kata mahasiswa pascasarjana Seni Murni ITB itu.
Yunis menampilkan karya semacam patung potongan tubuh yang terdapat beberapa bagian tubuh itu sebuah resleting, termasuk di bagian otak dan dada. Pada pameran kali ini Yunis dengan Doni Kabo yang juga mahasiswa S2 ITB menampilkan seni instalasi, sementara Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati menampilkan karya lukis.
Ditanya apakah pemilihan tema tentang otak ini berkaitan dengan banyaknya kajian mengenai kekuatan pikiran yang saat ini marak, Yunis membantahnya."Tapi kalau orang mengait-ngaitkan dengan hal itu tidak ada masalah," katanya. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 4 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Minggu, Agustus 03, 2008

Agenda Galeri Surabaya, Agustus 2008

04-10 Art Exhibition: INFECTED BRAIN, Karya Yunis Kartika, Doni Kabo, Agung Prabowo, Sekarputri Sidhiawati. 12-16 Gelar Karya Lukis IV: ASYIKNYA BEBAS BEREKSPRESI, oleh Komunitas Magenta. 17-23 Forum Ekspresi Anak Negeri: REPRODUKSI. 25-30 Pameran Lukisan: ART GOES TO SUN, Karya Nomo, Kenyut, Nur Cholis, Q-Usta, Sugeng Pribadi (Klemen), Hery Poer, Yonosan, Anwar. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)

Jumat, Agustus 01, 2008

Wadji Pameran Tunggal Ketujuh

Wadji "Iwak". Begitulah para perupa Surabaya menyebut pelukis asal Sidoarjo yang intens mengolah idiom ikan dalam karya-karyanya. Dibanding dengan corak karya sebelumnya pada lukisan Wadji terbaru tampak ada perubahan tampilan. Jika sebelumnya dia semata-mata mengolah obyek ikan namun sekarang ditambah dengan elemen lain.
Setelah dia memerah kemampuannya selama setahun kemudian hasilnya disajikan dalam pameran tunggal bertajuk "Face to Fish" di Balai Pemuda sebanyak 25 lukisan. Pameran tersebut dibuka oleh L. Soepomo, anggota DPR RI asal Surabaya, pada tanggal 27 Juli dan berlangsung hingga 2 Agustus 2008 di Galeri Surabaya. Corak kekaryaan pelukis kelahiran Jombang 1955 ini sekarang tampak lebih segar dengan pengembangan obyek dibanding garapan sebelumnya.
Wadji mencoba menghadirkan obyek lain tanpa meninggalkan obyek utamanya, ikan.Ada lukisan yang menyajikan delapan ikan arwana berwarna kuning keemasan beriringan dari sebuah lorong menuju ke belanga besar di hadapan perempuan tua disajikan dalam warna monokrom hitam putih. Pembentukan dua komposisi warta tersebut menghadirkan kesan yang menawan.Dari 25 karya yang ditampilkan Wadji sebagian besar mengetengahkan cerita tentang ikan. Ada lukisan yang dibagi dalam dua bidang, obyek utamanya seorang anak menenteng ikan hasil tangkapannya tampil dalam sebuah frame.
Sementara pada bidang lainnya tampak jajaran perahu mendarat di pantai.Wadji juga mencoba memikat lewat figur wanita. Seperti pada lukisan seorang gadis yang memegang merpati putih dengan latar belakang yang diblok merah menyala menyiratkan tentang pengendalian suatu kebebasan.Lukisan lainnya, ada tumpukan kayu, sebuah lukisan penari Bali dan sebuah topeng menempel di dinding sementara beberapa ekor ikan kecil berenang di tempayan. Seorang wanita muda menatap suasana itu dengan sorot mata tajam dikitari bunga merah muda."Inilah hasil pergulatan setahun.
"Meski saya menampilkan figur lain namun ikan tetap menjadi idiom utama. Ini sudah pilihan saya. Sebagai filosofi, ikan menyiratkan aktivitas yang tiada henti sepanjang waktu. Begitupun saya yang terus mencoba untuk terus bergerak di wilayah seni rupa," tutur Wadji yang dikenal sebagai seniman serba bisa.Pelukis yang pernah belajar pada Sekolah Minggu Aksera di tahun 70-an tersebut juga seniman relief yang terampil. Karya reliefnya masih menghiasi kawasan kebun binatang Surabaya.
Wadji juga sering bermain kesenian reog maupun melawak yang dia lakoni pada medio 1980an.Tentang eksplorasi kekaryaannya yang terakhir Wadji menuturkan, "Sebagai seniman saya ingin terus berproses sambil merespon fenomena agar saya bisa tetap semangat, karena saya hidup dan dihidupi oleh kesenian yang saya libati." (rokimdakas)