Kamis, November 27, 2008

Pameran Karya Antistres

Kaleng biskuit ternyata bisa menjadi wadah berekspresi bagi seniman. Itulah yang dilakukan oleh Hen Indira. Dia mengaplikasikan lukisan pada kaleng tersebut. Lukisan pada kaleng biskuit itu merupakan salah satu karya seni rupa yang bisa disaksikan dalam pameran bertajuk Jamu Anti Stress di Galeri Surabaya mulai kemarin (26/11) hingga 30 November mendatang. Selain Hen, tiga perupa yang memajang karya masing-masing adalah Endy L., Imam Sucahyo, dan Sutarno Masteng. Tidak hanya memanfaatkan kaleng, papan skateboard juga menjadi media berekspresi. Papan tersebut digantung di atas sebuah plastik berwarna biru. Plastik itu bertulisan safety first. Sedangkan di balik papan skateboard terdapat sejumlah stiker bernada peringatan, seperti dangerous when wet (berbahaya jika basah). Karya instalasi tersebut mengingatkan pengunjung agar mengutamakan keselamatan. Hen juga berkreasi dengan piring plastik. Dengan menggunakan 20 piring plastik, pria 29 tahun itu melukis gambar makanan-makanan yang sehari-hari disantap orang. Antara lain, mi goreng, tempe penyet, dan telur mata sapi. Tidak ada makna mendalam di balik karya tersebut. "Hanya, supaya kita kenyang saja," jelasnya. Sutarno memilih media konvensional, yaitu kanvas. Medianya mungkin biasa, tapi objek yang dipilih tidak biasa. (ken, ari; Jawa Pos, 27 November 2008/ Foto: Totok Sumarno; suarasurabaya.net)

Rabu, November 26, 2008

Anjing-anjing Berlari Gelisah

Sapuan warna hitam dan putih dari acrylic di atas kanvas abu-abu. Melingkarlingkar bagai benang kusut yang tak terurai. Begitu kelam seperti memendam kegelisahan. Sepintas memang hanya kelam.Tapi lebih dalam lagi di balik sapuan itu, akan “terlihat”anjing-anjing berlarian. Lari mencari kebebasan. Itulah salah satu karya yang dipamerkan Endy Lukito di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda, kemarin. Lukisan berjudul Running Out Series 1 itu dibuatnya dalam tiga versi. Ada juga Running Out Series 2 dan Running Out Series 3. Endy sengaja melakukan eksplorasi garis untuk membebaskan diri dari kungkungan konvensi.“ Tidak salah kalau ada yang bilang anak TK bisa melukis seperti ini,” kata Endy. Yang membedakan adalah proses dan semangat yang terpancar dari goresan tersebut. “Saya memang sedang gelisah,” kata seniman berkacamata ini. Pameran lukisan bertema Jamu Anti-Stress ini juga menampilkan karya pelukis, Imam Sucahyo, Sutarno Masteng, dan Hen Indira. Untuk menyelesaikan lukisan Running Out Series, Endy mengaku butuh waktu sekitar tiga minggu. “Melukisnya memang tidak lama. Tapi proses pencarian gagasan dan kontemplasinya yang butuh waktu,” kata cowok yang pernah kuliah di Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu. Menariknya, Endy baru menemukan “sesuatu” dalam lukisan itu setelah menyelesaikannya. Awalnya, Endy sengaja mencoba lari dari proses yang telah dijalaninya selama ini. Hingga akhrinya ia memutuskan mengeksplorasi garis untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada. Hasilnya, Endy baru menyadari ternyata ia ”melihat” ada anjing- anjing berlarian dalam goresan monochrome. Karya lain berjudul Pesan Para Binatang juga tidak kalah menariknya. Lukisan ini memang lebih mudah dinikmati masyarakat umum. Pelukisnya, Hen Indira, mengaku sengaja ingin menyampaikan betapa manusia sering memfitnah binatang. Dalam karya itu ada gambar beberapa hewan. Gambar itu dituangkan di atas bahan logam dari kaleng bekas. Gambar kuda bertuliskan kerja,burung bertuliskan plagiat, kepala harimau bertuliskan raja, ayam bertuliskan jagoan, tikus bertuliskan maling, sapi bertuliskan perah, dan bebek bertuliskan mbebek. Sementara lukisan kepala serigala dibiarkan tanpa tulisan. ”Kita sering memfitnah binatang, kita pasti menuding tikus suka nyolong makanan,” kata Hen Indira. Padahal, manusia sendiri tidak sadar telah memiliki sifat-sifat itu. Lalu mengapa kepala serigala tanpa tulisan? Kata Hen Indira, itu memang untuk memberi ruang pada penikmat untuk memaknainya sesuai hati nurani. ”Makanya, lukisannya ’kan menjorok ke dalam. Ya di dalam hati nurani,” ucapnya sambil memegang dada. Sedangkan Masteng menampilkan karya yang dibuatnya dari bahan acrylic dan ballpoint. Lukisan berjudul Kosong itu menyampaikan betapa masih ada kekosongan di hati pelukisnya. Dengan goresan ballpoint melingkar-lingkar tercipta bentuk batu-batu yang berserakan. Kata Masteng, lukisan itu memang berangkat dari kekosongan hatinya. Lukisan yang mengambil tema aktual dan faktual adalah Bau, karya Imam Sucahyo. Tergambar seorang pria menggunakan bra dan menghunus pisau. Di sampingnya tertulis kata-kata, Alway Back to The Prex Ketek. Imam mencoba menyejajarkan kasus mutilasi dan pembunuhan berantai yang dilakukan Verry Idham Henyansyah alias Ryan dengan kasus korupsi. Secara kasatmata, Ryan memang tampak berbahaya, padahal koruptor bisa membunuh lebih banyak penghuni bangsa ini. Pria yang pernah kuliah di Akademi Seni Rupa dan Desain Yogyakarta ini mengaku membuat karya tersebut secara spontan. “Setelah melihat televisi, muncul ide ini.Langsung saja saya tuangkan,” katanya. (Zaki Zubaidi; Koran Sindo, 25 November 2008/ Foto: Totok Sumarno; suarasurabaya.net)

Pameran Jamu Anti Stress

Menghadirkan berbagai karya, komunitas seniman muda dari Surabaya, dan Tuban, berkolaborasi dalam Pameran Jamu Anti Stress. Digelar di Galeri Surabaya, satu di antara karya HEN INDRA dari Tuban, sangat menggelitik. Mengusung mix media, yang memadukan akrilik dan berbagai media lainnya, menyodorkan gagasan tentang fitnah terhadap satwa. "Tikus selalu dianggap sebagai lambang korup. Padahal, tidak semua tikus korup. Ini fitnah toh," ujar HEN INDRA. (Totok Sumarno/ suarasurabaya.net, 25 November 2008)

Jamu Anti Stress di Balai Pemuda

Adalah sesuatu yang wajar jika melukis di kanvas yang kemudian dipigura. Selanjutnya karya itu bisa dinikmati pengunjung pameran dengan ditempelkan pada dinding atau papan datar horisontal. Tapi pada pameran lukisan Jamu Anti Stress yang digelar di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, Selasa (25/11), cukup berbeda. Ada beberapa lukisan yang dibuat di atas media plastik dan papan skateboard serta permukaan kaleng berbentuk kotak. Tak kalah beda, piring yang permukaannya bergambar berbagai jenis makanan, tampak dijajarkan di tengah ruang pamer. “Jajaran lukisan di piring ini adalah imajinasi atau makanan ilusi,” kata Hen Indira, pelukis piring. Selain Hen, juga dipamerkan lukisan karya Imam Sucahyo, Endy L, dan Sutarno Masteng. Beberapa pengunjung pameran, memang tampak terkejut dengan lukisan yang dipamerkan. Apalagi bisa dibilang bentuknya awut-awutan. “Tapi kami sadar, karya seniman memang aneh-aneh. Bagi saya cukup menarik lah,” ujar Wibawa, salah satu pengunjung.(rie/ Harian Surya, 26 November 2008)

Senin, November 24, 2008

Taufik 'Monyong' Gelar 'Agretion'

Masih merespon persoalan sosial masyarakat, TAUFIK MONYONG pelukis Surabaya kembali meluncurkan karya-karyanya dalam sebuah pameran “Agretion” di Balai Pemuda, mulai Senin (17/11) ini. Dalam pameran ini, ia juga menampilkan bentuk multimedia. Pameran ini merupakan pameran kelima TAUFIK di tahun 2008. Sebelumnya, ia sudah pernah menggelar pameran Revolution, Lintas Generasi, On the street dan pembuatan video art kontemporer Agretion. Video art tersebut akan ditampilkan dalam pameran bertajuk sama mulai hari ini. “Masih respon terhadap persoalan sosial, kemasyarakatan. Bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara. Bicara tentang hukum, etika, sosial. Dan perspektif ke depan,” kata TAUFIK saat ditemui suarasurabaya.net, Senin (17/11). Lukisan-lukisan beraliran ekspresionis khas TAUFIK, siap terpampang di galeri kompleks Balai Pemuda. Kebebasan, suara rakyat bahkan protes terhadap perilaku diskrimantif kepada perempuan digambarkan lewat goresan cat acrylic TAUFIK. Di tengah ruangan, terdapat kain sepanjang 10 meter yang terdiri dari 4 lukisan. Kain tersebut terpasang pada 4 buah tongkat yang diatasnya ditutup kain hitam. “Menggambarkan kuburan, makam,” kata TAUFIK. Lalu, kematian apa yang ingin ditunjukkan ? “Kematian keadilan, polisi hanya bisa menilang. Perempuan mendapat perilaku diskriminatif, konglomerasi yang ikut mencerdaskan bangsa tapi bullshit, dan semangat yang lenyap,” ungkap TAUFIK. Di atas vespa miliknya, pameran ini juga akan diwarnai dengan video art kontemporer sebagai bentuk pertunjukan multimedia. Dalam video itu, TAUFIK mengendarai vespa sepanjang Sidoarjo dan Surabaya, menyuarakan agresi. (Text & Foto: Agita Sukma Listyanti/ suarasurabaya.net, 17 November 2008)

Prajurit Roma Berbahasa Kuba Naik Vespa

Hasta la victoria seem pre! Prajurit Roma itu terus meneriakkan pekik perjuangan,maju terus pantang mundur. Aneh memang, seorang prajurit Roma naik vespa butut melakukan orasi dengan bahasa Kuba mengelilingi Surabaya. ”Patria o muerte! Vox populi vox dei!” teriak prajurit Roma berkulit sawo matang itu yang berarti, tanah air atau mati, suara rakyat suara Tuhan. Begitulah adegan dalam video art yang ditampilkan Taufik Monyong dalam pameran yang bertajuk Agretion. Video tersebut semakin terkesan heroik karena diiringi lagu underground dari band asal Surabaya, Pejah. Pameran lukisan di Galeri Surabaya Balai Pemuda ini gelar dari 17 hingga 21 November mendatang. Selain Monyong, pameran itu menampilkan lukisan karya Junaidi dan Poernadi. Memasuki ruang pamer, pengunjung disuguhi batubatu nisan berbalut kain hitam. Pada dindingnya tergantung lukisan-lukisan bertema semangat agresi. Di antara lukisan-lukisan itu nangkring vespa butut penuh coretan. Di atasnya, televisi 14 inci memutar aksi gila Taufik Monyong bak prajurit Roma tadi berkeliling Surabaya. ”Inilah kontemporer,” jawab Monyong saat ditanya mengapa prajurit Roma malah berbahasa Kuba. ”Indonesia sudah saatnya melakukan agresi, perluasan atau ekspansi. Persoalan rumah tangga seperti harga BBM maupun pornografi seharusnya sudah selesai,” kata Monyong yang membutuhkan waktu tiga bulan menyiapkan pameran ini. Vespa butut adalah simbol agresi negara lain ke Indonesia. Agresi negara lain itu kini sudah dianggap kuno (butut) dan sudah waktunya berbalik, Indonesia yang melakukannya. Bahasa Kuba yang digunakannya tidak lebih dari bentuk kekagumannya sang pemimpin gerilya Che Guevara. “Sebelum beraksi, saya harus menghafalkannya lebih dulu,” katanya sambil tertawa. Sementara prajurit Roma sudah pasti semangat ekspansi yang disampaikannya. Ada yang menarik saat ditanya dari mana Monyong mendapat ide pameran dan video art ini. Mantan aktivis 98 itu mengaku, gagasan berawal dari mimpinya bertemu Soekarno, Presiden RI pertama. “Waktu mimpi itu, saya sedang naik vespa. Lalu Soekarno bilang urusan rumah tangga negara ini seharusnya sudah selesai. Sudah saatnya melakukan agresi,” kata Monyong dengan mimik serius. Selain video art, Monyong menampilkan 14 lukisan, sedang Poernadi menampilkan 1 lukisan, dan Junaidi menampilkan 4 lukisan. Salah satu lukisan berjudul “Freedom” tampak begitu sangar dan emosional.”Gerakan menuju perubahan bisa dianggap orang lain bagai pengaruh jahat.Padahal,semua itu diperjuangkan untuk menuju sebuah kemerdekaan,freedom,” kata Monyong. (Zaki Zubaidi, Koran Sindo, 17 November 2008)

Pameran ‘Agretion’, Jangan Melupapakan Sejarah

Dua alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan satu alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya berkolaborasi dalam pameran lukisan betajuk “Agretion” di Galeri Surabaya (GS) mulai Senin (17/11). Pameran hingga 22 November mendatang memajang 17 lukisan yang tujuannya mengajak untuk berjuang meraih kemerdekaan. “Secara ekonomi Indonesia belum merdeka, masih terjajah Amerika, seperti kasus Freeport,” kata pelukis Purnadi yang didampingi pelukis lainnya, Taufik Monyong dan Junaidi saat pembukaan. Dari total lukisan yang dipajang, Purnadi memajang satu karya, Taufik sebelas karya dan sisanya karya Junaidi. Purnadi memajang karyanya berjudul Jangan Lupakan yang Lalu. Lukisan ekspresionis – surealis berukuran 150 × 80 cm menggambarkan sebuah tangan dan kaki yang tumbuh dari buah semangka yang bercucuran air. Seabuah tangan berusaha meraih “damar” sedangkan kakinya berupaya menggaet kursi. Di atas kursi digambarkan sebuah matahari. “Setiap kehidupan dengan simbol semangka membutuhkan sebuah pengorbanan dan usaha untuk mencapai tujuan,” jelas Purnadi. Kaki dan tangan adalah upaya untuk mencapai penerangan dan kekuasaan. Melalui kekuasan dan penerangan, manusia bisa memberikan pengaruh terhadap dunia yang dilambangkan dengan matahari. Kaitannya dengan “Agretion,” jangan sekali-kali lupakan sejarah, kemerdekaan yang dapat dinikmati sekarang dan dulunya dibayar tetes darah para pahlawan. Demi mencapai kemerdekaan, para pejuang rela mengorbankan nyawanya. Indonesia secara de facto telah merdeka dan kemerdekaan ini dapat dinikmati oleh anak-cucu. “Karya ini juga dapat dinilai secara religi untuk mencapai yang ‘Tunggal’ dan diperlukan sebuah usaha dan perjuangan yang luar biasa,” katanya. Sementara Taufik memfavoritkan karya People Power. Lukisan ini menggambar lima wanita yang berusaha memberontak tradisi yang selama ini cuma dianggap sebagai komunitas. “Pameran kali ini tidak hanya menampilkan lukisan saja tapi ada pagelaran musik dan pemutaran video,” Taufik. Pada videonya dia berusaha berkomunikasi untuk memberikan perubahan. Dalam rekamannya, Taufik keliling Surabaya dan Sidoarjo sambil berorasi. “Indonesia telah bangkit, Indonesia harus berpikir menjajah negara lain,” katanya. (K13/ Surabaya Post, 19 November 2008)

Keindahan Alam Goresan Hamid Nabhan

Ada suasana pedesaan dan hawa segar saat memasuki Galeri Surabaya, Balai Pemuda. Suasana itu tercipta dari lukisan-lukisan alam karya Hamid Nabhan yang dipamerkan mulai kemarin (12/11) hingga 16 November nanti. Hamid membawa 23 lukisan dengan tema yang sama: Symphony of Nature. Pelukis Surabaya tersebut menuturkan, alamlah yang mengajarinya melukis. Meski begitu, dia merasa prihatin dengan kondisi alam yang kini telah berubah, tak lagi indah. Manusia telah merusaknya. Seperti dalam lukisan berjudul Pohon I yang dituangkan dalam kanvas 98 x 98 cm. Dalam lukisan yang diambil on the spot di Trawas itu, Hamid melukis batang pohon besar. Menurut dia, kondisi asli lokasi tersebut subur dan penuh tumbuhan hijau dan rimbun. Tapi, dalam lukisannya dia justru menampilkan objek batang pohon yang kering, tanpa daun. "Ini memang sindiran. Kita telah kehilangan paru-paru kehidupan. Banyak pohon yang ditebang semena-mena," ucapnya. Karya yang dipamerkan kali ini merupakan garapan Hamid sejak 2006 hingga 2008. Dia mengerjakannya dalam dua pola: on the spot (langsung di lokasi) dan di studio. "Ketika melukis on the spot, saya bisa merasakan keindahannya secara langsung. Kendalanya masalah peralatan, cukup repot kalau membawa peralatan yang besar," katanya. Karena itu, lukisan on the spot biasanya lebih kecil dibandingkan lukisan di studio. Di studio, dia bisa leluasa bekerja. "Kalau di studio, saya bisa melukis dari hasil foto," tuturnya. Untuk objeknya, Hamid harus mencari yang sehati dengan obsesinya. Dia lebih suka berburu cahaya-cahaya yang menyinari objek sehingga tercipta sebuah keindahan alam yang berdimensi dan nyata. Itu sesuai dengan kekagumannya terhadap gaya impresionis. "Bagi saya, lukisan impresionis terasa lebih hidup," ujarnya. (jan, ari/ Jawa Pos, 13 November 2008)

Jumat, November 07, 2008

Harmoni Aliran di Balai Pemuda

Tidak mudah menyatukan berbagai gaya dan aliran para seniman. Namun, itu bukanlah hal yang mustahil. Bertajuk Harmoni, pameran lukisan di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, hingga 9 November mendatang itu mencoba membuktikan perpaduan tersebut. Sebanyak 24 lukisan karya 17 seniman dari kelompok Serumpun Bambu terpajang memutari ruangan galeri. Berbagai objek dan aliran mencoba memberi suguhan menarik untuk penikmat lukisan. Mulai gaya realis, dekoratif, surealis, hingga kaligrafi tersaji dengan berbagai teknik dan media. Ada yang menggunakan media palet. Ada juga yang memakai tinta dengan teknik drawing. Salah seorang pelukis yang menggunakan palet adalah Ahmad Djunaidi. Dalam pameran tersebut, pelukis 31 tahun itu menyumbangkan dua karya. Membidik objek kawasan Pasar Pabean dan Jembatan Merah, Djunaidi menyuguhkan lukisan bergaya realis impresionis yang kental dengan gaya goresan spontan. Dua lukisan tersebut dilukis langsung di tempat alias on the spot. Hasilnya, Djunaidi berhasil merekam segala aktivitas orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar kawasan tersebut. Ada kumpulan para pedagang, ada juga sekawanan laki-laki bersepeda. Pemilihan objek tersebut beralasan. "Saya ingin mengabadikan bangunan dan kawasan bersejarah Surabaya pada zaman sekarang. Sebab, di masa yang akan datang, bangunan-bangunan itu belum tentu masih ada," jelas Djunaidi. Untuk lukisan bergaya dekoratif, pelukis muda Ali Topan menyuguhkan satu lukisan. Mengambil tajuk My World, Ali menggambarkan detail dunia anak-anak sesuai dengan daya imajinasi. Dengan menggunakan media cat acrylic, dia melukis anak-anak yang tengah berlarian, sapi terbang, hingga kuda dengan badan bermotif kotak-kotak di sebuah padang rumput yang penuh dengan jamur berukuran raksasa. Lukisan dekoratif itu disebut naive decorative. Selain lukisan realis dan dekoratif, ada juga lukisan surealis yang bisa disaksikan. Salah satunya, karya pelukis Suyono. Lewat karyanya yang berjudul depression, Suyono mengambil objek sebuah sepatu bot hitam berukuran besar yang terisi penuh dengan cairan hijau. Saking penuhnya, cairan tersebut tumpah ke lantai. Tepat di atas sepatu tersebut, terdapat sebuah tangan berbalut sarung tangan putih yang membawa sebuah tongkat. Lukisan itu merupakan simbol otak manusia yang memiliki keterbatasan. Pameran lukisan bersama tersebut merupakan pameran perdana dari Serumpun Bambu. Berawal dari kegiatan kumpul-kumpul para pelukis itu memiliki ide untuk membentuk kelompok dan akhirnya mengadakan pameran bersama. (ken, ayi/ Jawa Pos, 6 November 2008)

Kamis, November 06, 2008

Agenda Galeri Surabaya, November 2008

04-09 Pameran Lukis Bersama Serumpun Bambu: HARMONI. 12-16 Solo Exhibition: SYMPHONY OF NATURE, karya Hamid Nabhan. 17-22 Pameran Lukisan: LINTAS GENERASI 2, karya Pelukis Alumni Unesa. 24-30 Pameran Lukisan: JAMU ANTI STRES, karya Endy Lukito, Imam Sucahyo, Sutamo Masteng, Hen Indira. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)

Minggu, November 02, 2008

PAMERAN ‘MULTIDIMENSI’: Jalan Melepas Duniawi

Perupa yang juga dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan lama tidak terdengar kiprahnya, Hari Prajitno, kini tampil tunggal di Galeri Surabaya (GS), Selasa (28/10) – 2 November. Pameran bertajuk “Multidimensi”, sepertinya dia ingin mencurahkan kegelisahan atau perjalanannya dengan memajang 81 lukisan. Bisa dibilang, mungkin ini pemecah “rekor” selama GS menggelar pameran. Karena tidak banyak pameran tunggal yang menghadirkan karya sebanyak ini. Pameran bersamapun, kadang tidak sampai 81 lukisan. Karya yang ditampilkan, dipajang secara susun. Ada di deret bawah dan deret atas yang tidak lazim dilakukan oleh pelukis lain. Penyusunan karya yang “tidak lazim” ini, menggambarkan perjalanan hidup Sang Perupa. Lukisan yang ditata searah jarum jam itu sama seperti arah mengeraskan “mur-baut”. Sementara lukisan yang ditata berlawanan arah jarum jam, adalah sebaliknya. Lukisan di bagian bawah menceritakan perjalanan Hari setelah mengenal Tuhan dan berusaha melepas keduniawian. Di sini banyak lukisan bernuansa pemandangan. Di deretan atas menggambarkan sebaliknya, Hari banyak mengejar keduniawian. “Betapa kecilnya kita di jagad raya ini,” katanya. Sementara karya yang dinilainya favorit ada di urutan ke satu deret bagian bawah. Karya tidak berjudul ini merupakan gerbang Hari serius melukis abstrak dan tercipta ketika dia mulai salat. Kesadaran Hari terhadap Tuhan berkat Mas Koko. Dia yang mengajaknya salat. Pada saat itu juga Ayu Aurumsari Riza, istrinya sedang melahirkan anak ketiga, Jalu Landep Hanjemparing Giri Jati lewat operasi cesar. Sehari setelah itu, Jalu operasi karena ususnya yang abnormal. Bersama dengan “beban” yang menumpuk, Mas Koko sempat menelponnya. “Kamu punya biaya untuk merawat anakmu?” ujar Hari Prajitno menirukan ucapan Mas Koko. “Mendengar perkataan itu, sayapun tersadar dan setelah kejadian itu saya lebih mendekat kepadaNya,” tambahnya. Sementara lukisan yang dikelompokan menjadi satu merupakan karya yang memiliki karakter hampir sama dan dibuat dalam periode yang hampir sama pula. Karena setiap orang punya kecenderungan tertentu dalam periode tertentu juga. “Seperti halnya anak kecil, di waktu tertentu menyukai mainan robot tapi di waktu lain dia berubah menyukai mainan mobil-mobilan dan lainnya,” jelas dia. Tentang kreatifitas seninya, alumnus Fakultas Seni Rupa – Institut Seni Indonesia (FSR-ISI) Jogjakarta mengakui instingtif. “Saya melukis sesuai dalam pikiran, seperti apa yang diberikan Tuhan. Saya hanyalah perantara bagiNya,” tambah dia. Hari mulai profesional melukis pada 2000. Sebelumnya dia banyak berkreasi di media kayu dan seng. Salah satu karya yang cukup mengejutkan dan seakan meneror penikmatnya, sempat dipamerkan di GS beberapa tahun lalu. Hari menampilkan semacam (satu) kepompong ukuran besar. Memenuhi ruangan. Kempompong yang dibuat terus gergoyang dan dilengkapi dengan pencahayaan tertentu, membuatnya para penikmatnya seakan-akan ikut bergoyang. Pada pameran ini, sepertinya bisa melihat perjalanan hidup Hari. Periode 2000 – 2002, dia menggambarkan kembali benda berserakan untuk ditata tanpa harus bermakna simbolik, kecuali memungkinkan keterbukaan di setiap menikmati susunanNya. Periode 2003 -2004, mencoba menafsirkan kembali benda dan lingkungan yang komposisinya mulai lebih cair. Lebih lapang menuju keinginan yang ada di dalam, walau kadang terjebak pada aras egoistis. Periode 2005 – 2007 mulai menapaki ranah keterasingan. “Aku tidak lagi leluasa memiliki atau menentukan apa-apa,” ungkapnya. Periode 2008 tiada ketakutan menapaki ketidakjelasan untuk menuju ke depan. “Apapun yang terjadi adalah kongkrit dan begitu nyata. Tiada batas untuk memberi tanda apapun yang tertorehkan di sana, karena dia ada di sini,” tuturnya. (K13/ Surabaya Post, 30 Oktober 2008)