Rabu, Oktober 29, 2008

Dosen STKW Pamer Lukisan Multidimensi

Dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya, Hari Prajitno memamerkan sekitar 80 lukisannya bertema "Multidimensi" di Galeri Surabaya, 28 Oktober hingga 2 November 2008. "Karya-karya ini merupakan perjalanan hidup dan spiritual saya dari periode ke priode, antara tahun 2000 hingga 2008," kata Hari yang ditemui disela-sela persiapan pembukaan pameran tersebut di Surabaya, Selasa. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengemukakan, secara garis besar karya itu diselesaikan antara periode 2000 hingga 2004 dan 2005 hingga 2008. "Periode pertama itu adalah masa dimana saya belum mengenal agama dengan baik. Saya pernah mengalami banyak cobaan, seperti anak sakit yang harus dioperasi atau istri melahirkan dengan cara operasi," katanya. Pada masa-masa seperti itu, ia melukis karya-karya abstraknya hanya dengan perasaan dan tentunya masih terpaku dalam kaedah-kaedah akademis. "Saya kemudian bertemu dengan tetangga saya, Mas Koko yang mengingatkan saya akan syariat agama. Ia mengajarkan bagaimana salat, puasa dan lainnya. Semua itu berpengaruh pada lukisan saya," katanya. Sejak itu ia kemudian melukis dalam bingkai hubungan dirinya dengan sang pencipta. Meskipun setiap karyanya memiliki makna khusus dalam perjalanan hidupnya, ia mengaku sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata. "Pokoknya saya melukis saja dan sekarang saya sudah melepaskan diri dari kaedah-kaedah akademis, meskipun saya sendiri orang akademisi. Saya tidak peduli dengan semua itu," kata pria kelahiran Surabaya, 19 Januari 1968 itu. Karya-karya pria yang mengajar sketsa, sejarah seni rupa barat dan dasar-dasar menggambar itu memang tidak menuangkan pesan khusus dalam setiap karyanya. "Secara umum, intinya, semua karya saya ini menunjukkan betapa kecilnya, betapa tidak ada apa-apanya saya di hadapan Allah. Itu saja, meskipun secara khusus itu tetap menggambarkan sejarah saya dalam waktu tertentu," katanya. Karya-karya yang dipajang dalam pameran itu dipisah dalam dua bagian. Untuk jajaran di atas merupakan karya periode 2000 hingga 2004 dan yang di bawah adalah karya tahun 2005 hingga 2008. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 28 Oktober 2008)

Sabtu, Oktober 25, 2008

Kain Perca, Pilihan Cerdas Berkesenian

Estetika Kain Perca: Potret Perempuan Berkesenian Melalui Pemanfaatan Kain Perca - “Estetika Kain Perca” mengubah pemahaman kita tentang kain perca yang dikatagorikan sebagai limbah, barang tak berguna serta sekaligus mengubah pemahaman tentang estetika. Kain perca selama ini lebih dikenal sebagai kerajinan tangan semata yang jarang dikaitkan dengan pilihan berkesenian, dan tampil menjadi alternatif pilihan untuk membuat lukisan, maka lahirlah Estetika Kain Perca sebagamana karya-karya yang dihasilkan oleh saudari Endang Waliati. Memanfaatkan kolase dari bahan kain perca menjadi medium berkesenian merupakan suatu pilihan cerdas. Bahan kain perca banyak berserakan, bahkan terbuang-buang dan belum banyak yang melirik sebagai produk yang punya nilai ekonomi, apalagi dianggap punya nilai seni. Pemanfaatan kain perca untuk aktivitas berkesenian, dimana hasilnya memiliki nilai estetika yang tinggi meningkatkan “derajat dan pangkat” kain perca dari semata-mata limbah menjadi barang seni yang tentunya selain punya nilai seni diharapkan juga dapat menjelma menjadi barang seni yang indah dan menjanjikan peluang pengembangan yang luar biasa, misalnya dalam pengembangan seni dekorasi dan interior dan lain-lain. Proses kreatif setiap orang berbeda-beda. Ada yang melihat bahan yang ada baru kemudian mengembangkan ide kretifnya. Saudari Endang justru mengembangkan ide kreatifnya lebih dulu, dan kemudian berburu kain perca yang dianggap dapat mendukung terwujudnya ide kreatifnya. Tentu saja bukan suatu pilihan yang mudah, dan di sini ada “kesenangan” mendapat tantangan yang mungkin dirasakan oleh saudari Endang. Artinya, bukan hanya hasil akhirnya yang dinikmati, namun dimulai dari proses kreatifnya. Sebagai perempuan, saudari Endang membuktikan bahwa dengan berkesenian kain perca sekaligus dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah lingkungan. Apa saja dapat digunakan sebagai bahan baku atau media untuk berkesenian, termasuk kain perca yang beragam warna dan corak. Melalui aktivitas berkesenian dengan kain perca saudari Endang telah menjalankan peran produktif berkesenian dan sekaligus menjalankan peran mengelola komunitas sosial, termasuk melindungi lingkungan. Aktivitas berkesenian sebagaimana dilakukan saudari Endang juga menjadi bukti bila perempuan mampu mengolah kreativitasnya akan menjadi sarana pemberdayaan bagi dirinya sebagai perempuan, serta akan berdampak pada kesejahteraan keluarga, bahkan komunitas yang ada di sekitarnya. Selamat kepada saudari Endang, semoga semakin banyak karya-karya baru yang dihasilkan dari bahan kain perca. Semoga ide-ide kreatif saudari Endang semakin mencerahkan dan menjadi inspirasi bagi pekerja seni yang lain, khususnya bagi perempuan-perempuan lain untuk mengembangkan kain perca agar dapat tampil sebagai benda bernilai seni dan sekaligus bernilai ekonomi. (NB: Sambutan ini disampaikan oleh Dra. Pinky Saptandari, MA pada pembukaan pameran seni rupa “Estetika Kain Perca”, karya FR. Endang Waliati, di Galeri Surabaya, 24 Oktober 2008) (Henri Nurcahyo/ brangwetan.wordpress.com, 25 Oktober 2008)

Lukisan Kain Perca pun Mempesona, Lapindo yang Termahal

Media lukisan tak hanya cat minyak, acrylic, cat air, crayon, pastel, dan sejenisnya, di atas kanvas atau papan. Kain perca pun bisa jadi media lukisan yang tak kalah eksotik dan menarik. Itu dibuktikan oleh Fransisca Romana Endang Waliati saat berpameran Estetika Kain Perca di Galeri Surabaya, Balai Pemuda, Jumat (24/10). Dalam eksibisi, seniman asal Porong, Sidoarjo, ini memajang 29 karya yang bisa dikoleksi pengunjung. Ia tak terlalu mahal mematok hasil karyanya. Hanya kisaran Rp 400.000 hingga Rp 5 juta. Paling mahal adalah lukisan yang diberinya judul Lapindo. Ia menyebut karya ini sebagai yang terberat. Ini terinspirasi oleh situasi di sekitar rumahnya, Porong. Pengerjaan karya itu kerap terhenti oleh tangisan pengungsi. “Bayangkan jika tiba-tiba Anda kehilangan sesuatu yang sudah lama dimiliki. Rumah saya memang belum tenggelam, tapi saya merasa kehilangan juga,” jelas Endang. Tak hanya kain dan serat benang yang dijadikan kolase. Uang pun bisa jadi media. Karya berjudul Tiga Topeng merupakan kolase potongan uang Rp 100.000-an. “Intinya banyak media yang bisa digunakan untuk menghasilkan karya seni,” tambahnya. Endang menekuni karya bermedia kain perca ini sejak 1985. Ia merasa nyaman, karena tak harus menghirup aroma cat dan oil yang menyengat yang kerap membuatnya alergi dan pusing. Dengan kain perca, ibu dua anak ini semakin asyik berkarya hingga hasil kerja kerasnya itu telah tersebar hingga ke Prancis dan Belanda. (mg1/ Harian Surya, 25 Oktober 2008)

Manfaatkan Kain Perca Jadi Karya Seni Rupa

Seniman asal Desa Mindi, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Fr. Endang Waliati, memanfaatkan kain perca (limbah atau sisa jahitan) menjadi karya seni rupa yang akan dipamerkan di Galeri Surabaya. "Karya-karya saya akan dipamerkan di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda, 24 Oktober hingga 26 Oktober 2008," kata Endang di Surabaya, Sabtu. Ibu dua puteri kelahiran Surabaya, 27 Juni 1959 itu menjelaskan, banyak media yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan karya seni yang sangat menarik, seperti kain perca. Endang mengemukakan, dirinya tidak sekadar menempel-nempelkan kain perca itu, melainkan mengurai kembali menjadi serabut-serabut benang kemudian dipotong pendek-pendek, hingga berfungsi menggantikan cat dalam lukisan. Perempuan yang tinggal hanya belasan meter dari tanggul semburan lumpur Lapindo itu sudah puluhan tahun menggeluti kain perca sebagai bahan baku karya seni rupa. Karena itu komunitas perupa sering memanggilnya dengan sebutan Endang Perca. Endang sudah beberapa kali menggelar pameran tunggal di Hotel Mirama, juga di Galeri Surabaya, serta beberapa kali pameran bersama di Ancol Jakarta, Yogyakarta dan Trawas, Mojokerto. Pengamat seni rupa, Henry Nurcahyo mengemukakan, dalam hal pemanfaatan kain perca sebagai bahan baku seni rupa ini tampaknya Endang tidak memiliki saingan yang berarti. "Apalagi Endang sudah berada pada tingkatan tidak sekadar membuat karya kolase kain perca, melainkan mengembalikan hakekat kain menjadi serabut benang-benang," katanya. Menurut dia, kain perca bukan sekadar menjadi karya kerajinan belaka, melainkan memasuki wacana "Estetika Kain Perca", sebagaimana yang menjadi tema pamerannya kali ini. Keterangan Foto: Salah satu karya Endang yang terbut dari kain perca dengan judul "Desa yang Hilang". Karya yang menyerupai lukisan itu bercerita mengenai desa yang hilang akibat lumpur Lapindo. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 18 Oktober 2008)

Selasa, Oktober 21, 2008

Tujuh Perupa Muda Unjuk Karya

Jagat seni rupa di Surabaya terus menggeliat. Tujuh pelukis muda mengadakan pameran bersama di Galeri Surabaya pada 17-23 Oktober. Mereka menunjukkan bahwa karyanya layak diapresiasi. Tujuh perupa muda itu adalah Anas Ali Imron, Bayu Edi Iswoyo, Baqy Sururi, Didit Trianto, Febrianto, Justian Jafin W.B., dan Taufiq. Mereka adalah alumnus SMKN 11 Surabaya pada 2008. Pameran kali ini mengusung tema Me-Rock-Art (baca: meroket). ''Ada sejuta rasa saat mengadakan pameran ini. Sebab, pameran ini kali pertama bagi kami,'' kata Taufiq, 17. Sebenarnya, ide mengadakan pameran itu sudah tercetus saat mereka masih duduk di bangku sekolah Jurusan Seni Rupa Murni SMKN 11. Namun, ada berbagai alasan yang membuat mereka ragu. ''Sempat terpikir bagaimana nanti reaksi masyarakat terhadap karya kami,'' tambah Anas, 19. Namun, akhirnya mereka membulatkan tekad untuk mewujudkannya. Sebab, kata Taufiq, untuk memiliki jam terbang yang tinggi, mereka harus melalui proses semacam itu. ''Kami ingin menjadi seorang perupa, tidak hanya pelukis,'' tambahnya. Dasar itulah yang membuat tujuh perupa muda itu menumpahkan isi hati mereka dalam kanvas. Mereka mengaku tidak terbebani dengan karya-karya orang lain. Misalnya, tiga karya Taufiq. Mahasiswa Jurusan Seni Rupa Unesa itu membuat lukisan dengan teknik mixed on canvas. Karyanya yang berjudul Cinta yang Membara merupakan lukisan dekoratif.(jan, ari/ Jawa Pos, 21 Oktober 2008)

Minggu, Oktober 19, 2008

Pelukis Pemula Ingin Meroket

Tujuh pelukis pemula jebolan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) atau SMK 9 Surabaya pameran bersama di Galeri Surabaya (GS) bertajuk “MeRock Art”. Mereka menampilkan 12 karya, mulai Jumat (17/10) Kamis (23/10). Pelukis yang tampil, Anas Ali Imron, Bayu Edi Iswoyo, Didit Trianto, Febrianto, Justian Jafin Wibisono, Moch. Baqy Sururi, dan M. Taufiq. Pameran alumni SMSR 2008 yang kedua itu juga merupakan ajang reuni, setelah pameran yang pertama berupa karya tugas (TA) sekolah. “Daripada mencorat-coret baju dan konvoi yang tiadak gunanya, lebih baik menggelar pameran,” kata Moch Baqy Sururi tentang pameran TA-nya. Sementara tajuk “Me Rock Art”, tambah Didit Trianto, merupakan plesetan dari kata “meroket”. “Harapannya, dengan pameran ini kami bisa meroket, sekaligus memberikan sumbangsih terhadap dunia seni lukis,” tambahnya. Karya yang dipajang antara lain Reminisce karya Anas Ali Imron, Under Fresh dan Untitle (Justian Jafin Wibisono), Indahnya Sang Malam, Cinta yang Membara, dan Wanita Malam (M. Taufiq), Air & Api dan Tanah & Kehidupan (Bayu Edi Iswoyo), Big vs Small dan Surabaya so Sweet (Didit Trianto), Aku Si Kambing Malang (Moch Baqy Sururi), Sepu-Sepurane (Febrianto). Karya Frebrianto Sepu-Sepurane mengkritik masalah urbanisasi, setelah Lebaran. Dia menggambarkan, kereta api yang merupakan sarana yang banyak diminati saat Lebaran. Di sampingnya terdapat dua unggas bebek putih dan satu bebek kuning. “Bebek putih melambangkan orang kota dan bebek kuning orang desa. Orang desa yang di kota setelah lebaran biasanya mengajak saudaranya untuk mengadu nasib di kota,” kata pelukis yang mengidolakan pelukis Agus Suwage ini. Karya Baqy Aku Si Kambing Malang, berusaha mengangkat problematika di kalangan bawah. Kambing yang disembelih adalah simbol masyarakat bawah dan batu mewakili beban hidupnya. “Sekalipun hidup banyak cobaan, kita harus tetap berjuang,” tambahnya. Surabaya dalam kaca mata Didit Trianto adalah kota kebanggan. Dalam karyanya Surabaya so Sweet dia ingin mengangkat sebagai kota yang dingin dan manis, seperti minuman ringan,” katanya. Lain halnya dalam Big vs Small, Didit mengangkat tema politik lewat simbol kaleng minuman ringan. Menyimbolkan orang yang berkuasa dan bisa berbuat semaunya dan orang lemah yang cenderung bisa diperdaya. (K13/ Surabaya Post, 18 Oktober 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Sabtu, Oktober 18, 2008

Alumni SMSR Surabaya Pamer Lukisan Bersama

Sebanyak tujuh alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya menggelar pameran lukisan bersama di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda Surabaya, 17 hingga 23 Oktober 2008. Ketujuh seniman muda berusia antara 17 hingga 18 tahun asal Kota Surabaya itu adalah, Anas, Bayu Edi Iswoyo, Febrianto, Didit T., Jafin Rock, M. Taufik dan Baqi. Bayu Edi Iswoyo di Surabaya, Jumat mengakui, mereka yang berpameran ini merupakan pendatang baru yang lulus tahun 2008 dan kini mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). "Kendati masih baru, kami ingin menatap masa depan sesuai dengan tema pameran ini, 'Me Rock Art' yang bisa diartikan meroket. Kami ingin ke depan menghasilkan karya yang lebih baik," ujarnya. Mahasiswa Unesa itu mengemukakan, lewat pameran ini, mereka ingin menampilkan identitas masing-masing dalam berkarya. Karena itu obyek lukisan maupun gayanya tidak terikat dalam tema tertentu. "Kami menampilkan karya yang bebas sesuai identitas masing-masing. Ada yang realis, abstrak dan ada juga yang graffiti. Kami menggunakan cat minyak dan ada juga yang menggunakan media akrilik," katanya. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 17 Oktober 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Tujuh Seniman Gelar Pameran Bersama di Surabaya

Sebanyak tujuh alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Surabaya menggelar pameran lukisan bersama di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda Surabaya, 17 hingga 23 Oktober 2008. Ketujuh seniman muda berusia antara 17 hingga 18 tahun asal Kota Surabaya itu adalah, Anas, Bayu Edi Iswoyo, Febrianto, Didit T, Jafin Rock, M. Taufik dan Baqi. Bayu Edi Iswoyo di Surabaya, Jumat, mengakui, mereka yang mengadakan pameran ini merupakan pendatang baru yang lulus tahun 2008 dan kini mengenyam pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). "Kendati masih baru, kami ingin menatap masa depan sesuai dengan tema pameran ini, Me Rock Art yang bisa diartikan meroket. Kami ingin ke depan menghasilkan karya yang lebih baik," katanya. Mahasiswa Unesa itu mengemukakan, lewat pameran ini, mereka ingin menampilkan identitas masing-masing dalam berkarya. Karena itu, obyek lukisan maupun gayanya tidak terikat dalam tema tertentu. "Kami menampilkan karya yang bebas sesuai identitas masing-masing. Ada yang realis, abstrak dan ada juga yang graffiti. Kami menggunakan cat minyak dan ada juga yang menggunakan media akrilik," katanya. (meg/ kapanlagi.com, 17 Oktober 2008)

Selasa, Oktober 14, 2008

Tarian Proletar dan For Live Tampil di Balai Pemuda

Situasi prihatin tidak hanya bisa direspon dengan gerutu tapi juga menarik jadi inspirasi karya seni. FATHUR ROJIB pelukis asal Sidoarjo misalnya, mewujudkan karya visual beraliran realisme satire dari situasi prihatin masyarakat di sekilingnya. Sebut saja karya berjudul "Tarian Proletar". Dalam karya yang ini mengungkap cerita bagaiman getirnya rakyat kecil ini, seorang lelaki dengan telanjang kaki, telanjang dada dirantai menari demi uang receh. Sedang di pergelangan kaki kanan rantai panjang dikendalikan seekor kera sambil terkekeh. Kata ROJIB pada RULLY reporter Suara Surabaya, Sabtu (11/10), nasib rakyat kecil seakan kera, bahkan kera pun menertawainya. Lain halnya karya ROJIB yang lain berjudul "For Live". "For Live" juga Tarian Proletar diantara lima karya ROJIB yang sekarang dipamerkan di Balai Pemuda Surabaya. FATHUR ROJIB berpameran di Galeri Surabaya bersama S. WAHYUDI pelukis juga SANTOSO pematung. Mereka mengangkat judul "Interrealitas". Karya-karya dalam pameran ini menyoroti situasi prihatin bangsa ini. Seperti karya instalasi patung SANTOSO berjudul "Keputusan Terakhir". Ada enam patung nampak memakan anggota tubuhnya karena situasi getir yang dialami rakyat kecil.(Iping Supingah/ SuaraSurabaya.net, 11 Oktober 2008)

Kamis, Oktober 09, 2008

Pameran Lukisan “Disharmoni”

Dua pelukis Jatim, Dharganden dan N. Roel berpameran bersama di Galeri Surabaya (GS) dengan tema “Disharmoni”,(4-7/10). Kedua pelukis menyajikan 19 karya pilihannya. Tema “Disharmoni” diangkat karena tidak bisa dipungkiri bahwa alam kini telah rusak. Dari sisi manusianya telah menjadi intoleransi. Hal yang sepele membuatnya tempramental dan memunculkan tindakan anarkis seperti tawuran dan lainnya. Di skala lebih besar, lubang lapisan ozon semakin menganga hingga menyebabkan pemanasan global. Perlombaan senjata dan perang terjadi di mana-mana. Sementara itu banyak negara miskin kekurangan pangan. Mungkin karena arogansi, mungkin pula karena kepentingan atau mungkin sudah menjadi keharusan zaman. Akhirnya sampai pada kesimpulan telah terjadi ketidakharmonisan. Itulah alasan mengapa Dharganden dan N. Roel tampil dengan tema “Disharmoni” dalam pamerannya. Bagi Darganden (Darsono), alam adalah guru terbaik dalam memberikan pengalaman dan pengetahuan. “Dalam melukis, saya tidak memfokuskan pada salah satu obyek tapi mengalir begitu saja lewat realis naif,” ungkap Dharganden. Kondisi masyarakat di sekitarnya yang menjadi tema sentral karyanya. Dia belajar melukis secara otodidak dan mulai profesional sejak 1990. Pria kelahiran Agustus 1957 ini telah menghasilkan sekitar 150 lukisan. Dari 10 karya yang dipemerkan, salah satu yang favorit adalah "Tanda-tanda Populasi Zaman". Karya itu dibandrol harga 2.500 dollar Amerika. Dharganden menyelesaikan lukisannya selama tiga minggu, tepatnya awal Oktober 2008. Lukisan 150 × 155 cm itu bermedia acrylic di atas kanvas. Sementara N. Roel juga memilih tema kritik sosial dalam karyanya. “Masalah sosial tidak akan pernah berhenti dan terus berkembang,” ungkap pria pemiliki nama Nasrulloh ini. Pelukis yang berdomisili di Geneve, Swiss, itu berpameran di GS sekaligus tilik keluarga di Tanggulangin. Dia memajang sembilan lukisan. Pria kelahiran Sidoarjo, April 1961, ini belajar melukis secara otodidak dan mulai menjadi pelukis profesional sejak 1988. Karya yang dianggap favorit berjudul "Transformasi Karakter". Karya itu ditawarkan 1.000 dollar Amerika. Bagi N Roel, dulu wayang sebagai media lakon dan masing-masing memiliki karakter manusia. Kini sebaliknya, manusia yang mewakili karakter wayang. “Ada yang berkarakter dewa, pendeta, satria, dan bahkan Buta (raksasa),” jelas dia.(K13/ Surabaya Post, 7 Oktober 2008/ Foto Repro Hanif Nashrullah: "Fluktuatif", Karya Lukis Dharganden)

Minggu, Oktober 05, 2008

Kritik Sosial dari Swiss

Duo pelukis, N. Roel, 47, dan Dharganden, 50, berkolaborasi menerjemahkan kritik sosial di atas kanvas. Sembilan belas karya mereka berdua dipamerkan di Galeri Surabaya mulai kemarin (4/10) hingga 7 Oktober mendatang. Bertajuk Disharmoni, pameran tersebut ingin bercerita tentang keadaan di sekitar. "Ketidakharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Keadaan berubah menjadi intoleransi," kata Roel, pelukis asal Tanggulangin yang kini bermukim di Jenewa, Swiss. Oleh Roel, ketidakharmonisan digambarkan dengan visualisasi wayang. Di dalam sembilan karya yang langsung diboyong dari Swiss tersebut terdapat gambar wayang. Sebagian karyanya itu sudah pernah dipamerkan di Swiss. "Saya memang ingin mengangkat falsafah wayang pada orang Eropa," katanya. Meski objek utamanya wayang, pelukis yang memiliki nama Narulloh tersebut tetap menyelipkan kritik sosial. Itu ditemui pada lukisan berjudul Manusia sebagai Bayangan Wayang. Dalam lukisan tersebut tergambar sebuah gunungan di tengah. Lalu, di samping kanan kiri terdapat tokoh pewayangan. Di bawah tokoh wayang tersebut ada bayangan berbentuk manusia. Dalam lukisan beraliran semi pop art itu, Roel ingin menyampaikan bahwa sekarang manusia mewakili karakter wayang. "Kalau dulu, wayang merupakan media lakon yang mewakili karakter manusia. Sekarang keadaan berbalik," tuturnya. (jan, ayi/ Jawa Pos, 5 Oktober 2008/ Foto Repro Hanif Nashrullah: "Peduli terhadap Sesama", Karya Lukis Dharganden)

Sabtu, Oktober 04, 2008

Agenda Galeri Surabaya, Oktober 2008

04-07 Pameran Seni Lukis: DISHARMONI, karya N. Roel & Dharganden. 09-15 Pameran Seni Rupa: INTERREALITAS, karya F. Rojib, G. Wahyudi & Santoso. 17-23 Pameran Lukisan: ME ROCK ART, karya Anas, Bayu El, Febrianto, Didit T, Jafin Rock, M. Taufik & Baqi. 24-26 Pameran Seni Rupa: ESTETIKA KAIN PERCA, karya Endang. 28-2November Pameran Seni Lukis Tunggal: MULTIDIMENSI, karya Hari Prajitno. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)