Rabu, Agustus 27, 2008

Pameran Art Goes to Sun

Setelah pameran lukisan Reproduksi rampung pada 23 Agustus lalu, Galeri Surabaya langsung disambut dengan pameran lukisan abstrak dan mix media bertema Art Goes to Sun. Pameran yang diprakarsai delapan pelukis tersebut berlangsung mulai 24 hingga 30 Agustus. Para pelukis itu adalah Anwar Djuliadi, Yonosan, Hery Poer, Nomo Dwi Atmoko, Qusta, Nur Cholis, Djunaidi Kenyut, dan Sugeng Pribadi (Klemins). Awalnya, delapan pelukis tersebut sering bertemu dalam pameran di berbagai kota di Jawa Timur. Karena sering bertemu, muncul gagasan membuat pameran bersama. Art Goes to Sun, menurut Cholis, sebenarnya terjemahan dari Agustusan. Masih dalam suasana kemerdekaan, pameran tersebut menjadi wujud para seniman itu untuk meramaikan HUT Kemerdekaan RI. Tapi, sebenarnya Art Goes to Sun adalah harapan agar seni bisa menuju pencerahan. "Seperti matahari yang menjadi sumber kehidupan," ungkapnya. Dalam pameran tersebut, dua belas lukisan dipamerkan secara berjejer. Terdiri atas sepuluh lukisan abstrak dan dua lukisan mix media. "Sebagian besar di antara kami memang pelukis abstrak," lanjutnya. Misal, lukisan Cholis yang berjudul Perang-perangan Jadi Perang Beneran dan Bukan Agustusan. Kedua lukisan tersebut saling berkaitan cerita. Pada judul pertama, Cholis menggambarkan hubungan antarmanusia dalam menjalani kehidupan. Dulu teman, jadi lawan, dan sebaliknya. Sedangkan di lukisan Bukan Agustusan, ada tiga peristiwa yang digambarkan. Pada baris pertama diperlihatkan suasana perang. Perang tersebut berhenti sesaat ketika 17 Agustus tiba. Itu dituangkan pada baris kedua. Terakhir, perang diceritakan terjadi lagi. Cholis menyatakan lebih menyukai lukisannya yang berjudul Perang-perangan Jadi Perang Beneran daripada Bukan Agustusan. "Bukan Agustusan saya buat ketika kondisi hati sedang tidak menentu," ungkapnya. Itu terlihat dari lukisannya yang memakai banyak warna. Selain hitam, ada warna biru, kuning, merah, dan hijau. Sedangkan di lukisan satunya, dia merasa lebih mantap hati. "Lihat warna yang saya pakai. Hitam, putih, dan abu-abu," tutur lulusan seni rupa Unesa tersebut. Selain abstrak, terdapat lukisan mix media karya Hery yang berjudul Peradaban Sisa. Dalam karya itu, dia menggunakan media kain perca, karung goni, kertas koran, kardus, dan benang. Bahan-bahan tersebut dipotong olehnya, kemudian disatukan dengan teknik kolase (tempel). Di salah satu bagian, terdapat potongan koran yang dibingkai dengan kaca tapi menyatu dengan bagian-bagian lain. Lukisan berukuran 90 x 183 cm tersebut terdiri atas dua panel. (jan, ayi/ Jawa Pos, 26 Agustus 2008/ Foto: kenyuten.multiply.com)

Selasa, Agustus 05, 2008

INFECTED BRAIN: Kolaborasi Empat Komunitas Seni

Empat komunitas seni: lukisan, pematung, musik dan teater menyatu di Galeri Surabaya (GS), Senin (4/8). Ajang seni tersebut, intinya pameran lukisan dan patung bertema Infected Brain yang dihadirkan empat seniman Bandung, Doni Kabo, Yunis Kartika, Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati. Pembukaan yang dilakukan secara lesehan semalam, dimeriahkan komunitas penggebuk drum dan perkusi yang tergabung dalam “Drum Hero”. Ajang yang dikoordinir Doweh ini dengan berbagai permainannya berhasil menyita perhatian pengguna jalan Yos Sudarso (depan GS). Sebagian penonton, ada yang mendekat ke halaman GS dan ada yang nongkrong di pinggir jalan dan duduk di sepeda motor. Setelah menampilkan para musisi dengan berbagai kepiawaiannya, pembukaan diawali sambutan koornator pameran, Luhur Kayungga, dari komunitas Teater API Surabaya. “Ini sebuah terobosan. Pameran lukisan dan patung selama ini banyak kolaborasi dengan penari maupun musik. Namun kali ini lengkap. Ada drum dan perkusi, teater serta yang membuka adalah pematung, Noor Ibrahim,” kata Luhur. Dalam sambutannya, Ibrahim mengaku bangga dengan seniman Bandung yang pameran di Surabaya. Pria brewokan ini mengaku tahu proses yang dilakukan para perupa dari kota kembang ini, kontemporer dan bicara kekinian. “Saya salut,” jelas pria yang seblumnya banyak tinggal di Jogjakarta ini. Ibrahim juga didaulat membuka pintu ruang pamer yang diberengi gebukan drum yang dipajang di halaman GS. Begitu masuk ruang, pengunjung dikejutkan oleh lembaran plat yang terlihat dipenuhi dengan goresan-goresan. Karena letaknya persis di depan pintu, banyak pengunjung yang terkecoh. Apakah itu karya seni atau bukan. Karena itu, ada pengunjung yang menghindar, tidak menginjak, tapi ada yang acuh saja, menginjak plat yang memanjang itu. Pameran yang digelar hingga 10 Agustus ini, Doni Kabo menghadirkan delapan lukisan hitam putih yang sosoknya hampir sama. Setiap lukisan dipadukan dengan angka-angka yang memenuhi frame. Karya dengan satu sosok dengan posisi merenung berat, berjudul “Bagusnya Apa”. Di antara sosok pribadi Doni yang tampil dalam karya, beberapa penonton ada yang mengidentikan sosok itu lebih mirip dengan pelukis dari Tuban, Masdibyo. Terutama pada kumisnya yang tebal. Yunis Kartika, tampil dengan empat patung. Tiga patung, mulai pinggang hingga kepala dijajar berdekatan. Sementara bagian pinggang hingga kaki berdiri berjauhan. Disini, Yuni sepertinya tampil “nakal” karena retsluiting celana terbuka hingga celana dalamnya terlihat. Patung berjudul "The Fool #1" berukuran 80 x 40 x 30 Cm ini berbahan paper, crome, polymate, zipper, spray on manequin. Karya tubuh Yuni ini dibalut perekat perak yang mempresentasikan rutinitas pada otak saat mengontrol tubuh yang menjadikannya seolah robot. Sementara karya Sekarputri begitu familiar namun tidak biasa. Ruang yang ia ciptakan seolah melipat dimensi fisik dan imajinasi manusia. Sehingga, justru membesarkan nilai kemanusiaan yang dimilikinya dan yang membuatnya bukan robot. Figur yang dihadirkan cukup naif, termasuk ada boneka anak-anak. Karya Agung, yang mengangkat self portrait, sepertinya meninggalkan kesadarannya untuk menjalani perjalanan pada landscape yang berada dalam kepalanya. Karya Agung, sepertinya banyak dilakukan oleh perupa Surabaya. “Saya sudah melakukan karya yang seperti ini sejak beberapa tahun lalu,” komentar pelukis yang juga kurator, Agus Koecing. (Gimo Hadiwibowo/ Surabaya Post, 5 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Pameran Seni Berotak

Setelah Wadji M.S. unjuk gigi, Galeri Surabaya kembali diramaikan pameran seni rupa karya para seniman Bandung. Selain lukisan, mereka memajang patung, instalasi, dan drawing. Pameran bertema Infected Brain itu dibuka kemarin (4/8) dan akan berlangsung hingga 10 Agustus. Mereka adalah empat mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Yakni, Doni Kabo, Yunis Kartika (keduanya mahasiswa pascasarjana seni murni), Agung Prabowo (seni grafis), dan Sekarputri Sidhiawati (seni keramik). Saat pembukaan, mereka melakukan performance art. Doni Kabo dan Yunis Kartika dilakban di tembok, kemudian tubuh mereka ''ditembak'' dengan visual proyektor OHP. Perpaduan minyak, air, dan pewarna makanan itu memancar ke tubuh kedua perupa tersebut di dinding. Agung dan Puti -panggilan Sekarputri- meniup campuran tersebut dengan sedotan. Efek dari campuran itu seperti lampu lava. Tema Infected Brain ingin mengatakan bahwa semua karya yang mereka hasilkan berawal dari otak. Meski terdapat perbedaan dalam melihat ''otak'' di antara mereka. Pasangan Doni Kabo dan Yunis Kartika melihat otak lebih pada arti harfiah. Doni memamerkan delapan self-portrait yang menggambarkan dirinya dalam berbagai ekspresi. (jan, ari/ Jawa Pos, 5 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Empat Perupa Bandung Pameran di Surabaya

Sebanyak empat perupa asal Bandung mengadakan pameran di Galeri Surabaya dengan tema "Infected Brain", 4 - 10 Agustus mendatang. Pembukaan pameran empat perupa, yakni Doni Kabo, Yunis Kartika, Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati di komplek Balai Pemuda, Surabaya, Senin malam (4/7) dimeriahkan dengan atraksi "Drum Hero" yang merupakan komunitas drumer dan perkusi di Surabaya.
Yunis mengemukakan, ide karya mereka itu diilhami oleh film tentang semut yang memakan jamur beracun. Kemudian jamur itu tumbuh di kepala si semut. "Kalau untuk manusia, otak itu menjadi pusat kontrol dari semua aktivitas," kata mahasiswa pascasarjana Seni Murni ITB itu.
Yunis menampilkan karya semacam patung potongan tubuh yang terdapat beberapa bagian tubuh itu sebuah resleting, termasuk di bagian otak dan dada. Pada pameran kali ini Yunis dengan Doni Kabo yang juga mahasiswa S2 ITB menampilkan seni instalasi, sementara Agung Prabowo dan Sekarputri Sidhiawati menampilkan karya lukis.
Ditanya apakah pemilihan tema tentang otak ini berkaitan dengan banyaknya kajian mengenai kekuatan pikiran yang saat ini marak, Yunis membantahnya."Tapi kalau orang mengait-ngaitkan dengan hal itu tidak ada masalah," katanya. (Masuki M. Astro/ ANTARA, 4 Agustus 2008/ Foto: Hanif Nashrullah)

Minggu, Agustus 03, 2008

Agenda Galeri Surabaya, Agustus 2008

04-10 Art Exhibition: INFECTED BRAIN, Karya Yunis Kartika, Doni Kabo, Agung Prabowo, Sekarputri Sidhiawati. 12-16 Gelar Karya Lukis IV: ASYIKNYA BEBAS BEREKSPRESI, oleh Komunitas Magenta. 17-23 Forum Ekspresi Anak Negeri: REPRODUKSI. 25-30 Pameran Lukisan: ART GOES TO SUN, Karya Nomo, Kenyut, Nur Cholis, Q-Usta, Sugeng Pribadi (Klemen), Hery Poer, Yonosan, Anwar. (Manager Galeri Surabaya/ Farid Syamlan)

Jumat, Agustus 01, 2008

Wadji Pameran Tunggal Ketujuh

Wadji "Iwak". Begitulah para perupa Surabaya menyebut pelukis asal Sidoarjo yang intens mengolah idiom ikan dalam karya-karyanya. Dibanding dengan corak karya sebelumnya pada lukisan Wadji terbaru tampak ada perubahan tampilan. Jika sebelumnya dia semata-mata mengolah obyek ikan namun sekarang ditambah dengan elemen lain.
Setelah dia memerah kemampuannya selama setahun kemudian hasilnya disajikan dalam pameran tunggal bertajuk "Face to Fish" di Balai Pemuda sebanyak 25 lukisan. Pameran tersebut dibuka oleh L. Soepomo, anggota DPR RI asal Surabaya, pada tanggal 27 Juli dan berlangsung hingga 2 Agustus 2008 di Galeri Surabaya. Corak kekaryaan pelukis kelahiran Jombang 1955 ini sekarang tampak lebih segar dengan pengembangan obyek dibanding garapan sebelumnya.
Wadji mencoba menghadirkan obyek lain tanpa meninggalkan obyek utamanya, ikan.Ada lukisan yang menyajikan delapan ikan arwana berwarna kuning keemasan beriringan dari sebuah lorong menuju ke belanga besar di hadapan perempuan tua disajikan dalam warna monokrom hitam putih. Pembentukan dua komposisi warta tersebut menghadirkan kesan yang menawan.Dari 25 karya yang ditampilkan Wadji sebagian besar mengetengahkan cerita tentang ikan. Ada lukisan yang dibagi dalam dua bidang, obyek utamanya seorang anak menenteng ikan hasil tangkapannya tampil dalam sebuah frame.
Sementara pada bidang lainnya tampak jajaran perahu mendarat di pantai.Wadji juga mencoba memikat lewat figur wanita. Seperti pada lukisan seorang gadis yang memegang merpati putih dengan latar belakang yang diblok merah menyala menyiratkan tentang pengendalian suatu kebebasan.Lukisan lainnya, ada tumpukan kayu, sebuah lukisan penari Bali dan sebuah topeng menempel di dinding sementara beberapa ekor ikan kecil berenang di tempayan. Seorang wanita muda menatap suasana itu dengan sorot mata tajam dikitari bunga merah muda."Inilah hasil pergulatan setahun.
"Meski saya menampilkan figur lain namun ikan tetap menjadi idiom utama. Ini sudah pilihan saya. Sebagai filosofi, ikan menyiratkan aktivitas yang tiada henti sepanjang waktu. Begitupun saya yang terus mencoba untuk terus bergerak di wilayah seni rupa," tutur Wadji yang dikenal sebagai seniman serba bisa.Pelukis yang pernah belajar pada Sekolah Minggu Aksera di tahun 70-an tersebut juga seniman relief yang terampil. Karya reliefnya masih menghiasi kawasan kebun binatang Surabaya.
Wadji juga sering bermain kesenian reog maupun melawak yang dia lakoni pada medio 1980an.Tentang eksplorasi kekaryaannya yang terakhir Wadji menuturkan, "Sebagai seniman saya ingin terus berproses sambil merespon fenomena agar saya bisa tetap semangat, karena saya hidup dan dihidupi oleh kesenian yang saya libati." (rokimdakas)