Minggu, November 02, 2008

PAMERAN ‘MULTIDIMENSI’: Jalan Melepas Duniawi

Perupa yang juga dosen Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya dan lama tidak terdengar kiprahnya, Hari Prajitno, kini tampil tunggal di Galeri Surabaya (GS), Selasa (28/10) – 2 November. Pameran bertajuk “Multidimensi”, sepertinya dia ingin mencurahkan kegelisahan atau perjalanannya dengan memajang 81 lukisan. Bisa dibilang, mungkin ini pemecah “rekor” selama GS menggelar pameran. Karena tidak banyak pameran tunggal yang menghadirkan karya sebanyak ini. Pameran bersamapun, kadang tidak sampai 81 lukisan. Karya yang ditampilkan, dipajang secara susun. Ada di deret bawah dan deret atas yang tidak lazim dilakukan oleh pelukis lain. Penyusunan karya yang “tidak lazim” ini, menggambarkan perjalanan hidup Sang Perupa. Lukisan yang ditata searah jarum jam itu sama seperti arah mengeraskan “mur-baut”. Sementara lukisan yang ditata berlawanan arah jarum jam, adalah sebaliknya. Lukisan di bagian bawah menceritakan perjalanan Hari setelah mengenal Tuhan dan berusaha melepas keduniawian. Di sini banyak lukisan bernuansa pemandangan. Di deretan atas menggambarkan sebaliknya, Hari banyak mengejar keduniawian. “Betapa kecilnya kita di jagad raya ini,” katanya. Sementara karya yang dinilainya favorit ada di urutan ke satu deret bagian bawah. Karya tidak berjudul ini merupakan gerbang Hari serius melukis abstrak dan tercipta ketika dia mulai salat. Kesadaran Hari terhadap Tuhan berkat Mas Koko. Dia yang mengajaknya salat. Pada saat itu juga Ayu Aurumsari Riza, istrinya sedang melahirkan anak ketiga, Jalu Landep Hanjemparing Giri Jati lewat operasi cesar. Sehari setelah itu, Jalu operasi karena ususnya yang abnormal. Bersama dengan “beban” yang menumpuk, Mas Koko sempat menelponnya. “Kamu punya biaya untuk merawat anakmu?” ujar Hari Prajitno menirukan ucapan Mas Koko. “Mendengar perkataan itu, sayapun tersadar dan setelah kejadian itu saya lebih mendekat kepadaNya,” tambahnya. Sementara lukisan yang dikelompokan menjadi satu merupakan karya yang memiliki karakter hampir sama dan dibuat dalam periode yang hampir sama pula. Karena setiap orang punya kecenderungan tertentu dalam periode tertentu juga. “Seperti halnya anak kecil, di waktu tertentu menyukai mainan robot tapi di waktu lain dia berubah menyukai mainan mobil-mobilan dan lainnya,” jelas dia. Tentang kreatifitas seninya, alumnus Fakultas Seni Rupa – Institut Seni Indonesia (FSR-ISI) Jogjakarta mengakui instingtif. “Saya melukis sesuai dalam pikiran, seperti apa yang diberikan Tuhan. Saya hanyalah perantara bagiNya,” tambah dia. Hari mulai profesional melukis pada 2000. Sebelumnya dia banyak berkreasi di media kayu dan seng. Salah satu karya yang cukup mengejutkan dan seakan meneror penikmatnya, sempat dipamerkan di GS beberapa tahun lalu. Hari menampilkan semacam (satu) kepompong ukuran besar. Memenuhi ruangan. Kempompong yang dibuat terus gergoyang dan dilengkapi dengan pencahayaan tertentu, membuatnya para penikmatnya seakan-akan ikut bergoyang. Pada pameran ini, sepertinya bisa melihat perjalanan hidup Hari. Periode 2000 – 2002, dia menggambarkan kembali benda berserakan untuk ditata tanpa harus bermakna simbolik, kecuali memungkinkan keterbukaan di setiap menikmati susunanNya. Periode 2003 -2004, mencoba menafsirkan kembali benda dan lingkungan yang komposisinya mulai lebih cair. Lebih lapang menuju keinginan yang ada di dalam, walau kadang terjebak pada aras egoistis. Periode 2005 – 2007 mulai menapaki ranah keterasingan. “Aku tidak lagi leluasa memiliki atau menentukan apa-apa,” ungkapnya. Periode 2008 tiada ketakutan menapaki ketidakjelasan untuk menuju ke depan. “Apapun yang terjadi adalah kongkrit dan begitu nyata. Tiada batas untuk memberi tanda apapun yang tertorehkan di sana, karena dia ada di sini,” tuturnya. (K13/ Surabaya Post, 30 Oktober 2008)

Tidak ada komentar: