
Perupa yang juga dosen Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta (STKW) Surabaya dan lama tidak
terdengar kiprahnya, Hari Prajitno, kini tampil
tunggal di Galeri Surabaya (GS), Selasa (28/10) –
2 November. Pameran bertajuk “Multidimensi”,
sepertinya dia ingin mencurahkan kegelisahan atau
perjalanannya dengan memajang 81 lukisan.
Bisa dibilang, mungkin ini pemecah “rekor” selama
GS menggelar pameran. Karena tidak banyak pameran
tunggal yang menghadirkan karya sebanyak ini.
Pameran bersamapun, kadang tidak sampai 81
lukisan. Karya yang ditampilkan, dipajang secara
susun. Ada di deret bawah dan deret atas yang
tidak lazim dilakukan oleh pelukis lain.
Penyusunan karya yang “tidak lazim” ini,
menggambarkan perjalanan hidup Sang Perupa.
Lukisan yang ditata searah jarum jam itu sama
seperti arah mengeraskan “mur-baut”. Sementara
lukisan yang ditata berlawanan arah jarum jam,
adalah sebaliknya.
Lukisan di bagian bawah menceritakan perjalanan
Hari setelah mengenal Tuhan dan berusaha melepas
keduniawian. Di sini banyak lukisan bernuansa
pemandangan. Di deretan atas menggambarkan
sebaliknya, Hari banyak mengejar keduniawian.
“Betapa kecilnya kita di jagad raya ini,” katanya.
Sementara karya yang dinilainya favorit ada di
urutan ke satu deret bagian bawah. Karya tidak
berjudul ini merupakan gerbang Hari serius melukis
abstrak dan tercipta ketika dia mulai salat.
Kesadaran Hari terhadap Tuhan berkat Mas Koko. Dia
yang mengajaknya salat. Pada saat itu juga Ayu
Aurumsari Riza, istrinya sedang melahirkan anak
ketiga, Jalu Landep Hanjemparing Giri Jati lewat
operasi cesar. Sehari setelah itu, Jalu operasi
karena ususnya yang abnormal.
Bersama dengan “beban” yang menumpuk, Mas Koko
sempat menelponnya. “Kamu punya biaya untuk
merawat anakmu?” ujar Hari Prajitno menirukan
ucapan Mas Koko. “Mendengar perkataan itu, sayapun
tersadar dan setelah kejadian itu saya lebih
mendekat kepadaNya,” tambahnya.
Sementara lukisan yang dikelompokan menjadi satu
merupakan karya yang memiliki karakter hampir sama
dan dibuat dalam periode yang hampir sama pula.
Karena setiap orang punya kecenderungan tertentu
dalam periode tertentu juga.
“Seperti halnya anak kecil, di waktu tertentu
menyukai mainan robot tapi di waktu lain dia
berubah menyukai mainan mobil-mobilan dan
lainnya,” jelas dia.
Tentang kreatifitas seninya, alumnus Fakultas Seni
Rupa – Institut Seni Indonesia (FSR-ISI)
Jogjakarta mengakui instingtif. “Saya melukis
sesuai dalam pikiran, seperti apa yang diberikan
Tuhan. Saya hanyalah perantara bagiNya,” tambah
dia.
Hari mulai profesional melukis pada 2000.
Sebelumnya dia banyak berkreasi di media kayu dan
seng. Salah satu karya yang cukup mengejutkan dan
seakan meneror penikmatnya, sempat dipamerkan di
GS beberapa tahun lalu.
Hari menampilkan semacam (satu) kepompong ukuran
besar. Memenuhi ruangan. Kempompong yang dibuat
terus gergoyang dan dilengkapi dengan pencahayaan
tertentu, membuatnya para penikmatnya seakan-akan
ikut bergoyang.
Pada pameran ini, sepertinya bisa melihat
perjalanan hidup Hari. Periode 2000 – 2002, dia
menggambarkan kembali benda berserakan untuk
ditata tanpa harus bermakna simbolik, kecuali
memungkinkan keterbukaan di setiap menikmati
susunanNya.
Periode 2003 -2004, mencoba menafsirkan kembali
benda dan lingkungan yang komposisinya mulai lebih
cair. Lebih lapang menuju keinginan yang ada di
dalam, walau kadang terjebak pada aras egoistis.
Periode 2005 – 2007 mulai menapaki ranah
keterasingan. “Aku tidak lagi leluasa memiliki
atau menentukan apa-apa,” ungkapnya.
Periode 2008 tiada ketakutan menapaki
ketidakjelasan untuk menuju ke depan. “Apapun yang
terjadi adalah kongkrit dan begitu nyata. Tiada
batas untuk memberi tanda apapun yang tertorehkan
di sana, karena dia ada di sini,” tuturnya.
(K13/ Surabaya Post, 30 Oktober 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar