Selasa, Februari 10, 2009

Autar: Komite Tidak Kreatif

Berbagai harapan muncul pada pengurus DKS yang akan dipilih pertengahan Februari mendatang. Autar Abdillah, mantan sekjen DKS periode sebelumnya, Solikin Jabbar, seniman senior Surabaya, dan seniman muda Supar Pakis turut angkat bicara mengenai hal ini. Kegagalan pada dua periode kepengurusan sebelumnya, membuat panitia pemilihan ketua DKS sibuk mempersiapkan formulasi untuk memilih figur yang tepat sebagai ketua DKS. Dari formulasi inilah diharapkan terpilih figur-figur pemimpin DKS yang dapat menjalankan perannya sebagai wadah dan penggerak aktivitas berkesenian di Surabaya. Tidak terkecuali Autar Abdillah. Mantan Sekjen DKS periode sebelumnya ini kini menjabat sebagai ketua OC panitia pemilihan ketua DKS. Ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, dirinya mengatakan bahwa pada perkembangannya, DKS mengalami 3 tahap, yakni tahap legitimasi, mediasi, dan konseptor. “Ketiga tahap tersebut harusnya diformulasikan untuk membentuk sebuah DKS yang baru”, ungkapnya. Baginya DKS harus berfungsi sebagai motivator, bukan yang seperti selama ini. Menurutnya, selama ini seniman-seniman yang masuk ke DKS mengangap DKS ini merupakan tempat untuk bekerja. Padahal harusnya tempat ini membuat program-program kesenian Surabaya. Hal ini yang menurutnya adalah kelemahan dari pengurus DKS periode sebelumnya. Dijelaskannya, kelemahan yang paling menonjol dari DKS adalah lemahnya interaksi dari pengurus DKS. Lemahnya interaksi tersebut tidak dipungkirinya. Namun ketika disinggung mengenai biro-biro yang ada di dalamnya, Autar yang juga dosen di UNESA ini menegaskan bahwa biro yang ada di periode sebelumnya merupakan biro-biro yang berisikan orang-orang yang tidak kreatif. “Harusnya mereka itu kreatif dong. Ketika dana tidak turun, mereka harus juga bantu nyari. Jangan cuma terima jadi”, ujarnya. Mengenai hal ini, pada dasarnya Autar Abdillah tidak memungkiri telah tercipta kondisi yang tidak harmonis. Kondisi tersebut yang menyebabkan lemahnya interaksi dan koordinasi presidium dalam mengelola DKS secara keseluruhan. “Saya tidak semata-mata menyalahkan komite. Tapi presidium juga dasarnya sudah tidak kondusif lagi.” Kondisi yang tidak kondusif tersebut, sebenarnya sudah diantisipasi oleh Autar yang waktu itu menjabat sebagai sekjen. Diakuinya bahwa 2006 dirinya sudah mengusulkan untuk diadakan konvensi ulang guna merestrukturisasi kepengurusan. Namun hal ini tidak kunjung direspon oleh pihak pemerintah kota. “Cukup sulit memang mengadakan konvensi ulang. Sebab banyak yang harus dikonfirmasi”, singkatnya. Format presidium yang dipakai pada periode sebelumnya, menurut Autar memang sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dirinya sebagai ketua OC akan mengusulkan pengurus DKS periode selanjutnya akan menggunakan sistem ketua umum. Selain itu, hal ini disesuaikan dengan SK Mendagri No. 431.3015/PUOD/1995. “Belajar dari pengalaman sebelumnya, presidium sama sekali ga jalan. Berarti sekarang itu harus diubah”, jelasnya. Sementara itu dikonfirmasi di tempat terpisah, pelukis muda Supar Pakis angkat bicara. Dirinya tidak sepakat dengan pernyataan Autar. Menurutnya presidiumlah yang harus bertanggung jawab atas kericuhan di tubuh DKS periode lalu. “Betapa tidak, presidium dipegang oleh orang-orang goblok. Mereka itu goblok manajemen, juga goblok apresiasi terhadap kesenian,” jelasnya. (a3; Surabaya Post, 6 Februari 2009)

Tidak ada komentar: